Walisongo Bukan Syiah Tapi Ahlussunnah
Islamedia - Dalam beberapa buku sejarah Islam di
Nusantara, terdapat silang pendapat tentang asal usul Walisongo. Meski
begitu, mereka sepakat bahwa akidah wali songo adalah Ahlussunnah. Teori
yang masyhur dan banyak dikaji peneliti adalah Walisongo bermadzhab
Sunni Syafi’i. Teori ini sudah lama dianut peneliti dan dinyatakan
matang. Adapun teori yang mengatakan bahwa Walisongo Syiah adalah kajian
baru yang masih disuarakan sedikit peneliti.
Kajian baru ini tentu
tersebut masih perlu dibuktikan lebih serius lagi dari beberapa sisi.
Sebagai contoh buku berjudul Syiah dan Politik di Indonesia Sebuah Penelitian (oleh A Rahman Zainuddin dan Hamdan Basyar), Mengislamkan Tanah Jawa (oleh Saksono Widji).
Seperti dikutip dalam buku Idrus Alwi al-Masyhur, dua buku yang
berpendapat bahwa Walisongo itu Syiah, memiliki kekurangan pada sisi
penelusuran identitas akidah leluhur Walisongo. Karena itu, tulisan
singkat ini akan menjelaskan identitas akidah leluhur Walisongo termasuk
rantai isnad pemikirannya sebelum sampai pada kesimpulan corak
keberagamaan Walisongo.
Identitas Walisongo dan Politik Orientalis
Sebelum mengkaji corak pemikiran keagamaan yang dianut Walisongo, ada baiknya sedikit membicarakan asal-usul Walisongo.
Setidaknya terdapat tiga pendapat yang
mengemuka tentang kajian asal usul Walisongo, yaitu;Walisongo berasal
dari India, China dan dari Arab (Hadramaut Yaman).
Teori India dikemukakan oleh orientalis
bernama Pajnapel dan Snouck Horgronye. Teori ini mendasarkan kepada
catatan perjalanan Marcopolo dan Ibnu Bathutah. Horgronye, yang pernah
menjabat sebagai penasihat penjajah Belanda pada masa kolonial,
berpendapat bahwa selama empat abad pimpinan agama Islam di Indonesia
berada di tangan orang India dan baru pada abad XVI pengaruh Arab mulai
masuk ke Indonesia[1]. Menurutnya, tradisi mistisme Walisongo di Jawa
itu sifatnya non-Arab. Maksudnya, tradisi Islam di Indonesia lebih
cenderung kepada India daripada Arab.
Pendapat Horgronye diikuti Morisson yang
berpendapat bahwa Islam Indonesia berasal dari sebuah pelabuhan di
India yaitu pantai Koromandel. Ia menjadi pelabuhan tempat bertolaknya
para pedagang Muslim dalam pelayaran mereka menuju Nusantara[2]. Tome
Pires mendukung teori ini. Menurutnya kebanyakan orang terkemuka di
Pasai Aceh adalah orang Benggali (India Selatan) atau keturunan
mereka[3].
Asas teori tersebut berangkat dari aspek
geografis. Bahwa leluhur Walisongo datang ke Indonesia dengan bertolak
dari sebuah wilayah di India. Berangkat dari pendapat ini mereka menarik
kesimpulan bahwa etnis yang datang adalah India bukan Arab.
Sementara teori China pernah dijelaskan oleh Tan Ta Sen dalam bukunya berjudul Cheng Ho Penyebar Islam dari Cina ke Nusantara.
Ta Sen berpendapat, orang Muslim Cina dari Dinasti Yuan dan Dinasti
Ming mempunyai peran khusus dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara.
Buku Tan Sen terlalu menggunggulkan Cina dan meminggirkan peran Arab
sama sekali. Menurut dia, pedagang Muslim Arab gagal dalam menjalankan
misinya untuk mengislamkan Asia Tenggara. Dr. SQ. Fatimi menjelaskan
pada sekitar tahun 876 terjadi perpindahan orang-orang Muslim dari
Canton Cina ke Asia Tenggara dikarenakan ada peperangan yang
mengorbankan hingga 150.000 Muslim[4].
Ada kesamaan dari dua teori di atas,
yakni baik teori India maupun teori Cina sama-sama mengesampingkan peran
Arab dalam Islamisasi Nusantara. Buku Ta Sen misalnya memberi
kesimpulan negatif terhadap Arab, yakni pedagang Arab dianggap gagal
menyatu dengan pribumi disebabkan eksklusivisme budaya Arab. Hal yang
hampir sama diutarakan oleh Horgronye. Dia menyatakan bahwa dai pelopor
di Jawa adalah India bukan Arab. Hamid al-Ghadri membantah teori
orientalis tersebut. Ia berpendapat, orientalis Belanda melakukan
kesengajaan melakukan ‘politik kesejarahan’ dengan cara memisahkan
antara Arab dengan segala identitasnya dengan penduduk Muslim
Nusantara.[5] Sehingga teori-teori sejarahnya dibuat sedemikian sehingga
tidak ada peran Arab di dalamnya.
Teori orientalis tersebut dicurigai
bermuatan kepentingan penjajahan atas wilayah Indonesia. Menonjolkan
India dan meminggirkan Arab lebih menguntungkan penjajah Belanda. Tidak
lain adalah untuk menciptakan citra negatif untuk Arab di Nusantara.
Kemungkinan ini karena pada zaman kolonialisme banyak keturunan Arab
yang menentang pendidikan Barat. Sama halnya golongan santri yang anti
pendidikan sekuler ala Belanda.
Belanda melakukan politik ini karena
melihat pengaruh keturunan Arab pada zaman revolusi ternyata cukup
besar. Ia berupaya menutup-nutupi agar kajian-kajian sejarah dan
buku-buku tidak banyak mengungkapkannya. Padahal, peran keturunan Arab
membela kemerdekaan Indonesia cukup besar. Dr. GSSJ Ratu Langie, pernah
mengatakan: “Dapat dimengerti bahwa gerakan keturunan Arab begitu cepat
diterima dalam gerakan nasional”. Hal ini bisa dimengerti, sebab sejak
berabad-abad lamanya — termasuk zaman Walisongo — keturunan Arab selalu
menyatu dengan pribumi[6].
Keberadaan keturunan Arab cukup ditakuti
Belanda. Thomas Stamford Raffles pernah mengaku bahwa tiap orang Arab
dan orang-orang pribumi yang kembali dari ibadah haji dari Makkah
dianggap ‘keramat’. Sangat mudah menggerakkan rakyat untuk melawan
Belanda dan menjadi komponen masyarakat yang dianggap membahayakan
kepentingan Belanda.[7]
Dari sekilas penjelasan di atas, dapat
dimengerti jika ada yang menyatakan bahwa teori-teori yang dikemukakan
oleh Horgronye dan orientalis penjajah lainnya memang memiliki misi
politis. Di sinilah teori-teori orientalis menjadi meragukan. Kajian
ilmiah tercampur dengan ambisi politik. Hasilnya adalah
statemen-statemen politis yang dibungkus kajian ilmiah.
Baik teori India maupun teori Cina
semestinya tidak mengesampingkan fakta adanya raja-raja atau sultan
keturunan Arab di wilayah Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Sebagai contoh,
keluarga Kesultanan Pontianak memakai marga al-Qadri, yang tidak lain
marga keturunan Arab dari kalangan habaib. Di Riau terdapat kesultanan
Siak yang keluarga kesultanannya bermarga bin Shahab. Mereka semua yang
memakai marga tersebut merupakan keluarga dari kalangan habaib.
Begitu pula, kesultanan-kesultanan
lainnya misalnya Cirebon, Banten, Demak, Jepara dan lain-lain. Jika
dibaca dari sejarah berdirinya, kesultanan-kesultanan tersebut berdiri
tidak dengan kekuatan senjata. Hal ini karena keturunan Arab dari
kalangan habaib tersebut memang diterima dan diangkat oleh rakyat.
Rakyat pribumi menerima keturunan Arab bukan sebagai penjajah tetapi
sebagai sultan pribumi. Sebabnya adalah, keturunan Arab zaman itu telah
menyatu-padu dengan penduduk pribumi dari berbagai segi sehingga
dianggap juga menjadi rakyat pribumi.
Orang-orang Arab ini bercampur gaul
dengan penduduk setempat sehingga mendapatkan penerimaan yang baik dan
menjabat sebagai tokoh. Alwi bin Thohir al-Haddad menjelaskan bahwa
rupanya pembesar-pembesar Hindu juga terpengaruh dengan sifat-sifat
keahlian orang Arab, oleh karena sebagian besar mereka keturunan Nabi
Muhammad Saw.
Orang-orang Arab ini membawa sesuatu yang menarik –
tradisi baru, pikiran baru dan pola hidup yang baru pula — kepada
orang-orang Hindu. Keturunan Nabi Saw tersebut mengajarkan akidah Sunni
dan fikih Syafi’i secara fleksibel kepada pribumi yang dikenal masih
sangat kolot dengan tradisi animismenya. Tetapi ternyata orang-orang
Hindu merasa membutuhkan dengan hal-hal baru tersebut. Inilah yang
membuat mereka cepat tertarik dengan ajaran Islam tersebut.
Sedangkan kaum India dan Cina Muslim
tidak bisa dianggap tidak ada. Namun, peran mereka tidak seperti yang
dilakukan keturunan Arab. Untuk melakukan penyatuan dengan pribumi bukan
perkara mudah dan tidak mungkin dilakukan dalam waktu singkat.
Prosesnya berabad-abad, sampai akhirnya keturunan Arab pun oleh orang
Jawa dianggap ‘pribumi’. Hal ini menunjukkan, eksistensi keturunan Arab
jauh lebih dahulu hadir di Nusantara.
GR. Tibbets dan Alwi bin Thohir
al-Haddad berpendapat kepulauan Indonesia telah menjadi jalur
perdagangan internasioal sebelum Islam datang. Orang-orang Arab yang
akan berdagang ke Cina melewati Sumatra dan Jawa untuk mampir sambil
berdagang[8]. Di sinilah Alwi al-Haddad berpendapat bahwa Agama Islam
masuk ke Sumatra pada tahun 30 H di zaman Khalifah Utsman bin Affan,
atau pada tahun 650 Masehi. Sebab, kepulauan Nusantara tidak lah asing
bagi orang-orang Arab.
Orang-orang Arab ini generasi awal yang
masuk ke Indonesia. Mereka disebut pelopor dakwah Islam di Nusantara.
Sementara para dai yang tergabung dalam Walisongo merupakan generasi
keturunan Arab yang mematangkan dakwah Islam sampai berdiri kesultanan
Islam, setelah sekian abab Islam berkembang perlahan di tanah Jawa dan
Sumatera.
Alwi al-Haddad mengutip kitab Nukhbatuddahr
yang ditulis oleh Syaikh Syamsuddin Abu Ubaidillah Muhammad bin Thalib
al-Dimasyqi bahwa ternyata sebelum gelombang orang Arab dari Hadramaut —
yang menjadi leluhur Walisongo– datang, di pulau-pulau Sulawesi
(dikatakan Sila) serta pulau-pulau sekitarnya sudah masuk kaum Alawiyyin
(keturunan Ahlul Bait Nabi Saw) yang melarikan diri dari kekisruhan
politik Dinasti Umayyah. Mereka menetap dan berkuasa di kepulauan
tersebut serta sampai dikubur di sana.[9] Dapat dipastikan, selama
menetap di situ mereka menikah dengan pribumi dan beranak-pinak.
Madzhab Leluhur Walisongo
Maka, jadi jelas yang datang ke
Nusantara pertama kali itu adalah orang Arab. Dan leluhur Walisongo
merupakan keturunan Arab dari kalangan bani Alawiyyin (habaib). Teori
Arab berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan habaib dari Hadramaut.
Pendapat yang menyebut Walisongo berasal dari Asia Tengah, Campa atau
lainnya ternyata tidak memiliki basis teori kuat, sebab tempat-tempat
seperti Gujarat India, Campa dan lain-lain adalah tempat singgah para
rombongan bani Alawiyyin sebelum sampai ke Sumatra dan Jawa.
Tempat-tempat tersebut merupakan jalur perjalanan saja, bukan asal-usul
rasnya[10]. Inilah teori yang paling masyhur dan paling kuat.
Jamaluddin al-Husein, kakek dari Maulana
Malik Ibrahim misalnya adalah seorang keturunan Arab dari bani
Alawiyyin yang lahir di India. Ia memiliki garis keturunan dari Sayid
Ahmad bin Isa al-Muhajir, imigran asal Irak yang menetap di Hadramaut
Yaman, keturunan Sayidina Ali bin Abi Thalib ra. Jamaluddin al-Husein
bukan dari etnis India, leluhurnya bernama Abdul Malik, berasal dari
Hadramaut tapi hijrah ke India untuk berdakwah. Ia menetap di wilayah
Koromandel India dan pernah berdiri sebuah kerajaan yang didirikan oleh
keturunan Abdul Malik. Namun, penduduknya banyak yang berpindah ke
Champa karena kalah dalam suatu peperangan[11].
Jamaluddin al-Husein ini mempunya tiga
anak laki-laki yang keturunannya menjadi pendakwah. Mereka adalah Sayid
Barakat Zainal Alam, Ibrahim al-Akbar dan Ali Nurul Alam. Barakat Zainal
Alam menetap di Gujarat India dan memiliki anak bernama Maulana Malik
Ibrahim, salah satu Walisongo. Sedangkan Ibrahim al-Akbar merupakan
kakek dari Sunan Ampel.
Asal-muasal Walisongo berasal dari bani
Alawiyyin Hadramaut bahkan diakui banyak sejarawan, termasuk seorang
orientalis Belanda, Van den Berg. Seperti dikutip oleh Habib Alwi bin
Thohir al-Haddad: “Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam adalah
dari orang-orang sayyid syarif (bani Alawiyin). Dengan perantaraan
mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan
lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain dari
Hadramaut (yang bukan golongan sayid), tetapi meeka ini tidak
meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka kaum sayid
adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad Saw)[12]
Salah satu cirri keturunan sayid ini
adalah kekuatan menjaga tradisi keagamaan secara turun-temurun. Mereka
cenderung lebih mengamalkan ajaran dan jejak nenek moyangnya, daripada
ajaran baru. Nenek moyang yang dianut ajaranya adalah Sayid Ahmad bin
Isa al-Muhajir. Dan juru bicara yang disebut-sebut tokoh sentralnya
adalah habib Abdullah al-Haddad. Keduanya secara akidah menganut madzhab
Asy’ari, fikih mengikuti imam Syafi’i dan tasawufnya mengikut imam
al-Ghazali.
Habib Ali bin Abu Bakar al-Sakran
mengatakan: “Adapun anak cucu Imam Syihabuddin Ahmad bin Isa al-Muhajir
yang tiba di Hadramaut dan kemudian tinggal di Tarim Yaman, mereka
adalah asyraf yang Sunni”[13].
Akidah Ahlussunnah dijelaskan oleh Habib Abdullah al-Haddad dalam kitabnya Risalah al-Mu’awanah. Beliau mengatakan bahwa firqah al-najiyah
(kelompok yang selamat) adalah Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam kitab
tersebut dinyatakan juga bahwa akidah bani Alawi secara turun temurun
adalah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dia menulis: “Perbaiki dan luruskanlah
akidahmu dengan berpegang pada manhaj al-firqah al-najiyah (golongan
yang selamat) yang dalam Islam dikenal dengan nama Ahlussunnah wal
Jama’ah. Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang berpegang teguh
pada ajaran Rasulullah Saw dan para Sahabatnya. Jika kamu teliti
al-Qur’an dan al-Sunnah – yang berisi ilmu-ilmu keimanan – dengan
pemahaman yang benar dan hati yang bersih, serta kamu pelajari
perjalanan hidup para salaf yang soleh dari kalangan Sahabat dan
tabi’in, maka kamu akan mengetahui secara yakin bahwa kebenaran ada pada
golongan al-Asy’ariyah yang dinisbatkan kepada Syaikh Abul Hasan
al-Asy’ari. Beliau telah menyusun akidah ahlil haq beserta
dalil-dalilnya. Itulah akidah yang diakui oleh para Sahabat dan tabi’in.
itulah akidah seluruh kaum sufi, sebagaimana disebutkan oleh Abul Qasim
al-Qusyairi pada bagian awal bukunya, al-Risalah.
Alhamdulillah, itulah akidah kami dan
saudara-saudara kami para Sadah al-Husaini yang dikenal dengan sebutan
bani Alawi. Itulah juga akidah salaf kami, mulai dari zaman Rasulullah
Saw hingga saat ini.
Dalam bidang fikih leluhur bani Alawi
menganut madzhab Syafi’i. Sayid Ahmad bin Isa dikenal berjasa
menyebarkan madzhab Syafi’i di Hadramaut. Ketika sampai di negeri
Hadramaut Ahmad bin Isa dikatan beliau menyebarluaskan madzhab Syafii.
Hal ini diakui oleh habib Abu Bakar al-Adni bin Abdullah al-Aidarus yang
menyatakan: “Madzhab kami dalam furu’ adalah madzhab Syafi’i, dalam
usul adalah madzhab guru kami imam al-Asy’ari dan thariqah kami adalah
thariqahnya para sufi[14].
Menurut habib Novel Alaydrus, keputusan
sayid Ahmad bin Isa al-Muhajir menjadikan Syafi’iyah sebagai madzhab
fikihnya merupakan sebuah keputusan yang didasari dengan berbagai
pertimbangan matang, sebagaimana beliau putuskan untuk hijrah dari
Basrah-Irak menuju negeri Hadramaut.
Hal ini juga diakui oleh Syaikh Yusuf
bin Ismail al-Nabhani. Dia berkata: “Umat Islam di seluruh dunia dan
pada setiap zaman sepakat bahwa para sadah bani Alawi merupakan ahli
bait nabi yang nasabnya paling benar dan otentik, serta ilmu, amal,
kemuliaan dan adabanya paling tinggi. Mereka semua berakidah Ahlussunnah
dan bermadzhab Imam kita, yaitu Syafi’i. semoga Allah Swt meridhai
beliau, mereka dan kita semua[15].
Leluhur bani Alawi bahkan banyak
berseberangan dengan aliran Syiah. Pada setiap zaman mereka, kerap
bertemu dengan pengikut Syiah dengan mengeluarkan kecaman. Seperti habib
Abdullah al-Hadda dalam salah satu nasihatnya bercerita: “Seseorang
penganut Syiah di Madinah bertanya kepada salah seorang sadah bani
Alawi: ‘Apa pendapatmu tentang Syiah dan Ibadhiyah?’ Ia menjawab:
‘Seperti kotoran hewan dibelah dua”[16].
Menurut habib Abdullah al-Haddad
rafidhah adalah orang-orang yang batil. Dalam segala hal, mereka tidak
dapat diambil pendapatnya. Baginya, penyebaran dakwah Syiah merupakan
benca yang sangat buruk dan mengerikan. Ketika menulis surat kepada
saudaranya yang tinggal di India beliau menulis:
“Aku berharap pada kemurahan Allah,
semoga kalian berada dalam keadaan yang paling baik, meskipun aku telah
mendengar berita tentang adanya gangguan di sana. Aku mendengar di India
terjadi banyak fitnah yang menyesatkan, bala bencana, pertentangan,
perpecahan di kalangan penduduknya, dan tidak berlakunya hukum. Semuanya
ini adalah bencana yang sangat besar.
Tetapi, bencana yang lebih buruk,
lebih keji dan lebih mengerikan dari semua itu adalah munculnya
orang-orang yang secara terang-terangan membenci al-Syaikhoni, al-Shiddiq (Abu Bakar) dan al-Faruq (Umar) radhiallahu ‘anhuma dan mereka memeluk agama rafidhah yang menurut syariat dan akal sangat tercela. Inna lillahi wa inna ilahi raji’un.
Ini adalah musibah yang paling besar dan bencana yang paling dahsyat.
Sejak dahulu, sebelum timbulnya berbagai bencana ini, aku merasa
keberatan engkau berlama-lama tinggal di negeri yang gelap itu. Sekarang
aku semakin berkeberatan lagi. Insya Allah kamu dan saudara-saudaramu,
kaum Sayid dari negara Arab, berada dalam lindungan dan penjagaan
Allah”.[17]
Akidah Walisongo
Seperti sudah menjadi tradisi bani
Alawi, ajaran dan madzhab leluhurnya diajarkan secara disiplin kepada
anak turunnya. Seperti juga para dai yang tergabung dalam Walisongo.
Idrus Alwi al-Masyhur mengutip buku KH. Abdullah bin Nuh berjudul al-Imam al-Muhajir
yang berpendapat: “Kata Sunan merupakan sebutan mulia yang
diperuntukkan bagi para raja dan para tokoh dari Islam di Jawa. Dan akan
dijelaskan nasab mereka hingga bersambung sampai ke imam al-Muhajir.
Dan sungguh telah kami fahami dari apa yang mereka ajarkan bahwa mereka
semua adalah ulama pengikut madzhab Syafi’i dan Sunni akidah
keagamaannya. Mereka kemudian lebih dikenal dengan sebutan Wali songo”.
Menurut KH. Abdullah bin Nuh, dalam buku
Primbon didapati bahwa wali songo merujuk beberapa kitab Ahlussunnah
dalam berdakwah. Seperti Ihya Ulumuddin karya imam al-Ghazali, Tahmid fi Bayan al-Tauhid wa al-Hidayat li kulli al-Mustarasyid wa al-Rasyid karya Abu Syakhur bin Syuaib al-Kasi al-Hanafi al-Salimi, Talkhis al-Minhaj karya Imam Nawawi, Quut al-Qulub karya Abu Thalib al-Makki, al-Risalah al-Makkiyah fi Thariq al-Sada al-Sufiyah karya Afifuddin al-Tamimi, Hilyah al-Aulia karya
Ahmad ibnu Hasyim al-Anthaki. Para wali songo juga merujuk kepada ulama
sufi sunni seperti Abu Yazid al-Busthami, Ibnu ‘Arabi, Ibrahim
al-Iraqi, Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan lain-lain[18].
Seperti dalam buku babad Cirebon
dituliskan bahwa Sunan Gunung Jati adalah seorang penganut Ahlus Sunnah
wal Jama’ah dari madzhab Syafi’i. Pernikahan ibu Sunan Gunung Jati,
Syarifah Mudaim dengan Maulana Hud di Makkah, di mana Syekh Abdullan
Iman yang menjadi walinya, menggunakan tata cara madzhab Syafii[19].
Para wali songo berperan penting dalam
pembinaan madzhab Syafi’i hingga mayoritas Muslim Indonesia bermadzhab
Syafi’i. Dikatakan bahwa ikatan keluarga kalangan Asyraf pada zaman itu
sangat kuat. Mereka tidak kesulitan untuk mempersamakan serta memupuk
kesatuan faham Ahlussunnah. Pola pembinaan madzhab ini juga diperkuat
dengan pertalian hubungan keluarga antara anak dengan bapak, paman
dengan keponakan dan antara mertua dan menantu. Tradisi ini sangat kuat
hingga membentuk pertalian ideologis secara turun-temurun.
Penutup
Dapat disimpulkan bahwa dugaan akidah
wali songo Syiah adalah anggapan yang spekulatif. Berdasarkan data di
atas, madzhab dan akidah wali songo adalah ahlus sunnah syafi’iyah.
Diturunkan dari para leluhur mereka dari bani Alawi di Hadramaut yang
memegang kuat tradisi keagamaannya yang bercorak tasawwuf itu. Jika,
wali songo itu Syiah, maka dapat dipastikan mayoritas Muslim Indonesia
Syiah. Kenyataannya, Muslim Indonesia mayoritasnya berakidah Ahlus
Sunnah bermadzhab fikih Syafi’iyah. Hal ini karena, secara turun-temurun
diwariskan dari para muballigh wali songo.
Kholili Hasib
Footnote:
[1] Hamid Al-Gadri,Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Penjajah, (Bandung: Mizan,1984), hal. 48
[2] Idrus Alwi al-Masyhur,Membongkar Kebohongan Sejarah dan Silsilah Keturunan Nabi Saw di Indonesia, (Saraz Publishing,2012), hal. 98
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Hamid Al-Gadri,Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Penjajah, hal. 47
[6] Ibid, hal. 38
[7] Thomas Stamford Raffles,History of Java dalam Hamid Al-Gadri,Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Penjajah, hal 39
[8] Alwi bin Thahir al-Haddad,Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, (Jakarta: Penerbit Lentera,1996), hal. 39
[9] Ibid
[10] Faris Khoirul Anam,Al-Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa, (Malang:Darkah Media, 2010), hal.124
[11] Idrus Alwi al-Masyhur,Membongkar Kebohongan Sejarah dan Silsilah Keturunan Nabi Saw di Indonesia, hal. 158
[12] Alwi bin Thahir al-Haddad,Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, hal. 52
[13] Ali bin Abu Bakar al-Sakran,al-Barkah al-Masyaqah, hal. 133 dalam Novel bin Muhammad Alaydrus, Jalan nan Lurus Sekilas Pandang Tarekat Bani ‘Alawi, hal.47
[14] Abu Bakar al-‘Adni bin Abdullah al-‘Aidarus,al-Juz’u Lathif Fittahkimi al-Syarif, hal. 13 dalam Novel bin Muhammad Alaydrus, Jalan nan Lurus Sekilas Pandang Tarekat Bani ‘Alawi, hal.73
[15] Ibid, hal. 73
[16] Abdullah bin Alawi al-Haddad,Tastbitul Fuad II,(Singapura: Pustaka Nasional, 1999), hal. 226
[17] Abdullah bin Alawi al-Haddad,Mukabatul Imamil Ghautsil Fardhil Jami’, dalam Novel bin Muhammad Alaydrus, Jalan nan Lurus Sekilas Pandang Tarekat Bani ‘Alawi, hal. 49
[18] KH. Abdullah bin Nuh,al-Imam al-Muhajir hal. 174 dalam Idrus Alwi al-Masyhur,Membongkar Kebohongan Sejarah dan Silsilah Keturunan Nabi Saw di Indonesia, hal. 165
[19] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara dalam Idrus Alwi al-Masyhur,Membongkar Kebohongan Sejarah dan Silsilah Keturunan Nabi Saw di Indonesia, hal.166