Islam edia - Andalusia, sebuah kawasan di selatan Spanyol. Nama Andalusia berasal dari nama bahasa Arab "Al Andalus", yang m...
Kesempatan ini akan saya pergunakan untuk berbagi kisah, betapa istimewa shalat Jumat saya di Masjid Andalusia, Sentul City. Alhamdulillah, cuti dadakan telah memungkinkan saya shalat di masjid ini.
Biasanya, hari Jumat ialah hari sakral, karena kami para mahasiswa harus rapat Logbook. Isinya memaparkan kemajuan riset kami kepada teman mahasiswa dan (khususnya) dosen pembimbing kami. Jumat membawa teror karena saya tipikal mahasiswa yang kurang bisa mempersiapkan bahan rapat dan mempresentasikannya, apalagi karena riset saya berjalan sedikit telat.
Hari ini, Jumat 18 mei 2012, khutbah diisi oleh seorang trainer yang wajahnya sempat ramai menghiasi layar kaca beberapa tahun lampau, khususnya (jika tidak salah) di AnTV. Beliau adalah Reza M. Syarif, seorang trainer, yang dulu punya acara subuh rutin di layar kaca.
Ternyata, kini beliau diperkenalkan sebagai ustadz pengasuh salah satu Pondok Pesantren Yatim anak Maluku bernama Gaya (Griya Asri Yatim). Dengan balutan sorban, gamis putih panjang dan berselempang kain cokelat berudru, beliau nampak sangat berwibawa.
Sudah sebegitu lama, saya tak menjumpai khatib yang menangis di mimbar. Beliau... kita panggil saja Ust. Reza, menangis ketika bercerita bagian cinta Rasulullah kepada seorang anak yatim.
Alkisah, anak ini baru saja kehilangan Bapaknya. Ia pu berkeluh-kesah kepada Rasul, meyakini bahwa tak ada yang mau memperistri ibunya karena ibunya seorang yang miskin lagi jelek.
Kali pertama, Rasul pun menanyakan, “Bagaimana bila ada seseorang yang mau memperistri ibunda kau?”
Anak itu terdiam. Rasul pun mengulangi pertanyaannya, dengan kalimat yang mirip.
Anak itu menukas bahwa ibunya miskin lagi jelek, dan haqqul yakin bahwa tak ada yang bersedia menjadi pengganti kepala rumah tangga mereka.
Ketika Rasul menanyakan pertanyaan yang sama ketiga kalinya, si anak berujar bahwa beliau bersedia jika ada yang mau menjadi ayahnya. Ketika ditanya balik, siapa nama orangnya, anak itu mendapat jawaban yang mengharukan.
Ternyata, Rasul sendiri yang mau menjadi ayahnya! Maka pecahlah tangis khatib Jumat ini ketika sampai di bagian ini.
Ruang pun senyap untuk beberapa saat, meski saya masih bisa mendengar tangis Ust Reza karena hanya saya berjarak beberapa meter ke mimbar.
Di bagian lain, beliau menekankan betapa memelihara anak yatim merupakan salah satu kuncinya meraih rizki yang banyak dengan penuh keberkahan.
Saya jadi teringat salah satu teman saya akan meluncurkan Pondok Yatim diseberang rumahnya. Sementara, program yang akan diluncurkan Ahad ini akan membina belasan anak yatim. Sesuatu yang luar biasa bagi saya, ketika saya masih megap-megap mengatur pengeluaran.
Beliau kaya, namun tidak memilih rumah mewah ataupun mobil ber-cc besar. Mobilnya biasa-biasa saja, namun cita-cita untuk kemajuan umat begitu besar.
Nampaknya, kita semua harus memulai dengan mencoba membina 1 anak yatim dulu. Kalau selama ini saya hanya menjadi fundraiser pro bono (tanpa bayaran) PMA Al-Bunyan, saya nampaknya harus mencoba berpikir menjadi donatur untuk program pembinaan yatim; tidak hanya berdonasi untuk urusan general seperti zakat, infak dan shadaqah, seperti yang saya sudah lakukan.
Ini kita lakukan bukan sekedar untuk menjadi kaya, namun tak lain disebabkan karena kita semua ingin mendapat ridho Allah dan cinta Rasul-Nya.
Beliau pun bercerita mengenai, sebut saja Pak Cak, seorang tukang becak, yang dikaruniai anak 25. Secara teoritis, tidak mungkin omset tukang becak mampu menghidupi anak sebegitu banyaknya. Namun, ujar Pak Reza, keluarga mereka nampak bahagi-bahagia saja.
Ini menjadi pengingat kepada kita, bahwa miskin (baca: seidkit aset kekayaaan maupun penghasilan) bukan berarti sesuatu yang mesti diratapi dengan sedih. Namun, miskin bisa juga dihadapi dengan kegembiraan.
Betapa sedih saya ketika media massa terus-menerus menghujani masyarakat dengan kesan, orang miskin harus selalu menderita. Padahal, perlu dibangun marwah (izzah atau harga diri) dalam orang miskin, bahwa mereka mungkin saja miskin, namun bisa melakukan banyak kerja-kerja yang berharga bagi diri dan masyarakatnya.
Kemiskinan pun harusnya ditekankan bukan sebagai sebuah status yang permanen, namun dapat berubah asalkan ada kemauan dan upaya. Kita benci ketika produser acara “peduli orang miskin” di TV selalu saja berusaha memancing tangis orang miskin yang “dibantunya” (meski tidak seberapa dibandingkan untung yang diperoleh rumah produksi dan stasiun TV bersangkutan), dan selalu berusaha menasehati sabar...seakan-akan miskin menjadi ujian kesabaran yang teramat berat.
Pemimpin masa depan Indonesia seharusnya tidak terjebak pada infrastruktur, namun juga memperhatikan mental orang-orang miskin. Saya bukan penggemar Soekarno (apalagi hidup ektravaganza dan hobi main ceweknya), namun saya menaruh respek bagaimana beliau membangun sikap hidup rakyatnya yang miskin dan baru merdeka untuk berjuang bagi kemajuan bangsa. Kemiskinan mungkin masih lama bercokol di negeri ini, namun yang ada di jalan-jalan seharusnya aura bahagia, kerja keras dan kesenangan untuk melakukan kerja sosial. Pemimpin harus bisa mendidik mental rakyatnya agar menjad demikian.
Selain itu, Ust Reza pun bercerita pengalaman keluar negeri bertemu seorang syeikh. Istimewanya, syeikh ini memiliki komplek perumahan berisi 250 cucu, 80 anak dan tentu saja 4 istri. Fiuh.... Ia menaksir, perlu sekitar 150-200 juta untuk menyediakan makanan saja, sehingga syeikh ini pastilah teramat kaya.
Ketika dijamu dirumahnya dan turut mendampingi beliau beberapa hari, ada banyak kisah luar biasa yang ditemuinya. Salah satu istri syeikh itu bercerita megenai kebiasaan syeikh yang tidak ingin bajunya dicuci mesin, namun harus dicuci tangan. Hal yang membuat takjub adalah kantungnya kosong ketika selesai dijemur, namun menjadi penuh sesaat sebelum disetrika.
Syeikh ini pun punya kebiasaan mentraktir makan seluruh yang sedang menikmati jamuan di tempat makan. Ketika siap-siap membayar seluruh tamu restoran, sang kasir berkata bahwa sudah ada orang yang membayari. Ketika ditanya siapa sosok yang dimaksud, maka si kasir berkata bahwa orang yang berbaju putih. Saat diminta menunjukkan sosok yang dimaksud diantara pengunjung restoran, pegawai restoran itu tidak bisa menunjukkannya. Subhanallah....
Sayangnya, saya agak kurang suka juga ketika persoalan rezeki ditarik ke domain yang semi-ghaib seperti ini. Bukannya tidak percaya, namun fakta ini bila disajikan secara tidak utuh ini bisa mendorong orang untuk hanya semata mendekatkan diri kepada Allah tanpa berusaha membangun kerajaan bisnis; sesuatu yang nantinya bisa menghasilkan pemasukan pasif, seperti yang Robert T. Kiyosaki selalu gembor-gemborkan dalam buku magnum opus-nya, “Rich Dad, Poor Dad.”
Kita sudah melihat banyak salah kaprah seperti ini, dengan menemui banyak penziarah di makam wali songo maupun tempat keramat lain yang rela menghabiskan uangnya untuk berziarah dan ngulup (memanen) rezeki. Padahal, uang yang ada sesungguhnya bisa diinvestasikan di usahanya, sehingga modal bisa berkembang.
Sayangnya, waktu yang ada jauh dari cukup untuk memaparkan betapa banyak ulama yang bisa menjadi magnet bagi rezeki (yang Ust Reza umpamakan sebagai besi), tanpa harus mengejar-ngejarnya.
Kita mengingat jelas betapa Abu Hanifah, yang dikenal sebagai pencetus mazhab pemikiran Hanafi, adalah tukang kain. Ketika ia akan mengisi pengajian, ia menyuruh pengawalnya untuk menyiapkan kuda-kudanya, yanng tentu tidak murah.
Kita juga ingat bahwa Ibnu Hajar Al Asqolani, penulis kitab Bulughul Maram yang mahsyur di seantero Indonesia, memiliki kereta kencana yang indah dan berpergian diantar ratusan pengawal (lihat referensi).
Tigapuluh menit lebih pun berlalu sedemikian cepat karena bawaan khutbah yang rancak. Jumat saya hari ini sangat berharga. Bagaimana dengan Anda?
Raafqi Ranasasmita
Fundraiser PMA Al-Bunyan. Kandidat Magister Ilmu Biomedik, Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.