Islam edia - Petaka tak selalu berarti duka. Meski pada awalnya umat Islam dirugikan karena stigma negatif akibat tragedi 9/11 (baca :...
Islamedia - Petaka tak selalu berarti duka. Meski pada
awalnya umat Islam dirugikan karena stigma negatif akibat tragedi 9/11 (baca :
nine eleven). Yaitu serangan yang mengakibatkan runtuhnya menara kembar World
Trade Centre (WTC) yang diklaim pemerintah Amerika Serikat (AS) dilakukan oleh
kelompok “muslim garis keras”, Osama bin Laden dan jaringan Al Qaidah. Akan
tetapi dikemudian hari, tuduhan tersebut justru menjadi berkah, karena
menstimulasi masyarakat Barat untuk mempelajari Islam.
Berbagai hasil penelitian mengungkapkan bahwa
tragedi 9/11 borkontribusi besar terhadap pertumbuhan Islam di Barat, khususnya
Amerika Serikat dan Eropa. Salah satunya adalah Studi Pew Research Center yang berjudul "Memetakan Populasi Muslim
Global: Sebuah Laporan Tentang Jumlah dan Distribusi Populasi Muslim Dunia.
Hasil studi yang dirilis akhir tahun 2010 tersebut juga menemukan bahwa Eropa memiliki
sedikitnya 38 juta Muslim yang membentuk lima persen dari total populasi benua
tersebut. Sebagian besar terkonsentrasi di Eropa Tengah dan Timur. Di Rusia
yang merupakan bekas negara komunis diperkirakan ada lebih dari 16 juta Muslim,
dan merupakan Muslim terbesar di Eropa. Jerman memiliki pemeluk Muslim sebanyak
4,5 juta, Prancis sebesar 3,5 juta jiwa, Inggris sekitar dua juta orang, dan
Italia sebanyak 1,3 juta jiwa. Sisanya tersebar di beberapa negara Eropa
lainnya seperti Portugal, Swedia, Belanda, Swiss, Belgia, dan lainnya
Hasil studi berbeda menyebutkan bahwa hampir 46
juta Muslim berada di benua Amerika. Di negara super power, Amerika Serikat,
agama Islam dipeluk oleh sekitar 2,5 juta orang. Sementara itu, di Kanada
jumlah pemeluk Islam mencapai 700 ribu orang. Tak jauh berbeda dengan Argentina
yang mencapai 800 ribu orang, dan merupakan pemeluk Islam terbesar di Amerika
Selatan. Sementara itu, di Suriname, pemeluk Islam mencapai 16 persen dari
total penduduknya, dan menjadi populasi Muslim terbesar di benua Amerika
(republika.co.id).
Faktor Pemicu
Tentu banyak yang bertanya, mengapa setelah
semakin dipojokkan pertumbuhan Islam bahkan semakin melesat? Maha besar Allah
SWT yang membolak balik dan merajai hati manusia. Allah telah berfirman di
dalam Al Qur’an surat An Nashr [110] ayat 1-2 : “Ketika datang
pertolongan Allah dan kemenangan (1) , dan
engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah (2)”
Peningkatan umat Islam yang demikian pesat itu,
disebabkan oleh banyaknya orang-orang yang memeluk Islam (mualaf). Suatu
fenomena menonjol pasca tragedi 9/11. Ketertarikan secara alamiah dan rasa
ingin tahu yang mendalam, telah mendorong peningkatan jumlah warga dunia yang
berpaling kepada Islam.
Menurut laporan surat kabar Times, setelah
peristiwa 9/11, agama Islam mendapatkan perhatian besar dari kalangan warga
kulit putih Inggris yang berekonomi kuat dan berpendidikan. Peristiwa itu,
bukannya semakin memperbesar stigma negatif terhadap Islam, tetapi makin
menambah jumlah anak-anak muda dan peneliti yang termotivasi untuk mempelajari
Islam dan Akhirnya memeluk Islam.
Atas
fakta fenomenal itu, The Population Reference Bureau
USA Today menyimpulkan: “Moslems are the world
fastest growing group.” Senada,
Menlu AS Hillary Rodham Clinton yang
merupakan istri mantan Presiden AS Bill Clinton seperti dikutip oleh Los
Angeles Times mengatakan, “Islam is the fastest growing
religion in America.” Kemudian,
Geraldine Baum mengungkapkan: “Islam is the fastest growing
religion in the country” (Newsday
Religion Writer, Newsday). “Islam is the fastest growing
religion in the United States,” kata
Ari L. Goldman seperti dikutip New York Times.
Arus sejarah yang tidak lazim ini, selain diakibatkan
rasa penasaran terhadap Islam, layunya semangat beragama di Barat yang ditandai
banyaknya Gereja yang ditutup dan bahkan dijual dan dikonversi menjadi Masjid,
adalah fakta dan faktor lain mengapa Islam begitu pesat perkembangannya.
Sebagaimana dipostulatkan oleh John Naisbitt dalam "Megatrend 2000" (1990: Bab IX),
bahwa abad 21 akan menjadi era spiritual yang ditandai oleh gejala Barat untuk
kembali kepada spiritualitas Timur. Dimana manusia Barat yang
telah sampai pada puncak pencapaian material, masih merasakan kehampaan dan
akhirnya mereka sadar jika membutuhkan kedamaian. Jalan kedamaian yang hanya
ada pada dunia spiritualitas. Kehampaan spiritualitas ini beririsan dengan
kenyataan bahwa Islam mulai kembali bersemi setelah satu abad lamanya hanya
menjadi pelengkap peradaban. Berseminya
Islam di awal abad 21 ini dimulai dari tragedi 9/11.
Penggiringan opini publik tantang “barbarisme
Islam” oleh media-media Barat, justru dijawab oleh kenyataan berbeda. Secara
kultural, Kaum Muslimin yang semakin cinta pada agamanya ditandai oleh ekskalasi
keislaman mulai dari life style, hingga pada hiburan Islami. Globalitas yang
memungkinkan komunikasi komunitas muslim lintas teritori menjadi faktor ke
sekian yang turut mengakselerasi perkembangan Islam.
Pertemuan dua arus itu (yaitu pencarian spiritual Barat dan
berseminya Islam), menjadi hulu ledak bagi pesatnya perkembangan Islam. Akan
tetapi dibalik perkembangan tersebut, masih banyak tersimpan pekerjaan rumah
yang harus diselesaikan oleh kaum Muslimin.
John L. Esposito, guru besar
dan direktur Centre for Muslim-Christian Understanding di Georgetown
University, Washington DC. Tokoh yang
sering membuat Barat meradang akibat pandangan objektif dan emphaty terhadap
Islam, di dalam bukunya “The Future of Islam” (Oxford:
OUP, 2010) mengidentifikasi beberapa masalah yang di hadapi Islam di masa
mendatang.
Pertama,
Esposito melihat meningkatnya ultrakonservatisme Islam, yang terutama diwakili
Wahabisme. Meski gerakan Wahabiyah sekarang tidak selalu menampilkan kekerasan,
namun faham ini cukup membuat Islam hadir sebagai agama yang segala tidak
boleh: 'ini tidak boleh, itu tidak boleh'.
Kedua,
di dalam tubuh umat Islam masih ada disapritas (kesenjangan) yang besar dalam
hal pembaharuan Islam. Gerakan purifiksi Islam selalu konfrontatif dengan gerakan pembaharuan yang tak jarang mencederai
dan melemahkan umat Islam sendiri. Perbedaan-perbedaan yang tajam dalam tafsir
keagamaan ini, kian sulit terselesaikan.
Bagi Duo Islamis-Indonesianis berkewarganegaraan Australia
Greg Fealy dan Anthony Bubalo, di dalam
bukunya Joining the Caravan ?: The
Middle East, Islamism and Indonesia (2007), titik sentral diskursus
pembaruan dalam Islam terletak pada dua hal yaitu pemurnian Islam yang berarti
merujuk kepada generasi awal Islam (shalafush shalilh) yang hidup dalam
suasana murni bersih dari pengaruh tradisi jahiliyah. Akan tetapi
konsekwensinya adalah Islam harus membuat jarak dengan realitas budaya lokal. Bagi
negara-negara yang masih memelihara dan kental dengan budaya lokal.
Pilihan kedua pembaruan ini ialah lebih menitikberatkan
kepada melakukan interpretasi baru terhadap ajaran Islam dengan memanfaatkan
potensi rasionalitas sebagaimana dalam pengalaman barat. Akan tetapi bedanya,
barat melakukan pembaruan dengan membelakangi sama sekali doktrin teologia
kekristenan, sementara masyarakat muslim menerima secara absolut kebenaran
wahyu (qoth’i tsubut) namun melakukan penafsiran
baru sesuai dengan perkembangan moderen.
Secara struktural, kelompok inilah yang biasanya tampil
transformatif pada wilayah lebih formal. Misalnya dengan masuk dalam pusaran
kekuasaan melalui kontestasi demokrasi dengan mendirikan partai politik Islam.
walaupun oleh kelompok Islam puritan, demokrasi dianggap haram. Akomodasi
terhadap demorkasi bisa kita lihat pada gerakan politik AKP di Turki, An Nahdah
di Tunisia, Ikhwanul Muslimin di Mesir dan PKS di Indonesia.
Beda dengan Barat
Berbeda dengan Umat Islam
yang harus menjawab sejumlah tantangan pasca tragedi 9/11, kini Barat
(khususnya AS) harus menanggung resiko. Bahwa mesin perang yang digelar selama
sepuluh tahun telah menyedot anggaran tak sedikit, sehingga berakibat pada
goncangnya perekonomian negara tersebut akibat utang untuk menggelontorkan
biaya perang di sejumah negara Muslim. Laporan terakhir yang dilansir oleh
Reuters menunjukkan jika saat ini uang AS telah melampaui produk domestik
beruto (PDB) AS, yaitu tahun 2010 lalu, total utang AS sebesar
U$ 14,58 triliun, sementara PDB tahun yang sama
hanya U$ 14,53 triliun.
Kondisi
ini menjadi ancaman terjadinya resesi bagi AS karena beban utang yang menyedot
anggaran besar mengharuskan pemerintah mengurangi porsi pada stimulus ekonomi.
Akibat ekonomi yang melambat, atau bahkan –mungkin- bisa tumbuh negatif maka pengangguran
akan semakin membengkak dari angka 9,1 persen saat ini. Pengangguran tersebut
hanya akan menjadi masalah sosial bagi AS.
“Sesungguhnya
bagi orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan
sebagaimana kehinaan yang telah didapat oleh orang-orang sebelum mereka. Dan
sungguh kami telah menurunkan bukti-bukti yang nyata. Dan bagi orang-orang yang
mengingkarinya akan mendapat adzab” (QS Al Mujadalah [58] : 5)
Jusman Dalle
Penulis adalah Analis Ekonomi Politik SERUM
Institute dan Pengurus Pusat KAMMI
Telah menulis ratusan artikel yang
dipublikasikan oleh media massa nasional –cetak & online- seperti Media
Indonesia, Koran Tempo, Harian Republika, Majalah Hidayatullah, Detik.com,
OkeZone.com, dll
Hp : 085299430323