“ Ilahi…Ilahi…Ilahi….!!!! “ Aku berteriak memanggil-manggil nama Dzat yang selalu kusebut itu. Ragaku seperti runtuh tak bertulang....
“ Ilahi…Ilahi…Ilahi….!!!! “
Aku berteriak memanggil-manggil
nama Dzat yang selalu kusebut itu. Ragaku seperti runtuh tak bertulang. Nafasku
seakan berhenti seketika. Air mata keluar lebih banyak dari biasanya.
Aku bersimpuh menahan tangis.
Hatiku terkoyak-koyak. Luka yang berdarah menjadi semakin parah dengan sayatan
tajam di atasnya. Kata-kata menjadi tak berarti. Seperti kehilangan arah tak
tahu harus berbuat apa.
“ Tahukah kamu siapa orang yang paling menyedihkan? Tahukah kamu siapa
orang yang paling menyedihkan? Dan kau tahu apa penyebabnya?? “
Suara itu terngiang lagi di
otakku. Suara yang berasal dari sumber yang tidak kuketahui. Aku
menjerit-jerit. Menangis, berteriak, hingga akhirnya aku tersimpuh kembali.
“ Ilahi….Ilahi…Ilahi…!!!”
***
“ Bang aku ingin bertemu. Aku
ingin curhat banyak,” seorang adik kelas menyapaku usai aku menyelesaikan
sholat dhuha di Masjid kampus.
Aku tersenyum simpul. “ Urusan
curhat bisa belakangan dik, tapi urusan sholat Dhuha ada waktu yang membatasi.
Kau sudah sholat Dhuha?” aku balik bertanya padanya.
“ Astaghfirulloh….aku terlampau
emosi Bang. Aku lupa belum sholat Dhuha,” adik kelasku segera beranjak menuju
tempat wudhu.
Tiba-tiba aku merasa sedang
diawasi. Beberapa pasang mata tertuju padaku. Pandangan yang tajam yang
menembus pertahanan tubuhku. Namun ketika aku berpaling, mata-mata itu sudah
hilang kembali. Aku beristighfar.
Sebuah nada pesan dari handphone
mengusir kegelisahan yang kurasakan. Di layar terlihat tulisan “ 1 pesan masuk “. Segera aku menekan
tombol enter hingga pesan itu
terbuka.
“ Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh….Bang aku mau cerita…Aku
sedang menghadapi masalah berat. Aku terserang virus merah jambu bang. Aku
terjebak dengan rasa cinta tak beralasan terhadap seorang teman aktivis. Aku
sakit Bang…Aku perlu bantuan….”
Aku melihat nama yang tertera di
bawah pesan itu. Seorang adik kelas yang begitu aktif di kegiatan kampus.
Seorang aktivis yang begitu dielu-elukan oleh semua adik angkatan. Seorang yang
dinilai begitu baik dari segi agama maupun sikap.
Aku mengetik tombol-tombol angka
yang ada di layar HP-ku. Secepat kilat membalas pesan yang tadi kuterima.
“ Wahai Ikhwan sholeh….segera cegah hatimu untuk bermaksiat kepada
Allah. Kau adalah makhluk lemah yang tak pantas menduakan cinta-Nya. Kau tak
berhak membuat-Nya cemburu. Segera basuh wajahmu dengan wudhu. Biarkan segala
penyakit hati itu tersingkir bersama air yang kau gunakan,”.
Pesan terkirim.
Tak lama kurasakan kembali
beberapa pasang mata mengamatiku. Aku merasa ketakutan. Ketika kuberbalik
badan, tatapan-tatapan itu menghilang entah kemana. Aku beristighfar kembali.
Sesosok adik kelas tadi sudah menyelesaikan sunnah Dhuhanya dan siap untuk
berbincang. Aku mengajaknya ke sekretariat Masjid kampus.
“ Bang aku merasa bersalah…..”
mengalirlah air mata dari kedua pipi adik kelasku itu. Dan terucaplah cerita
yang membuat dadaku terasa sesak. Ya Rabbi Anta Ghoffurur Rahim….ujarku tak
terucap.
***
Tatkala kita ditimpa musibah
Atau tertipu oleh kepalsuan
Kala tergiur bunga kehidupan
Terbujuk rayu godaan setan
Tergelincir dalam jurang nifaq dan riya
Jika hati hampa tanpa nilai ruhaniyah
Tiada kekuatan untuk memberi
Hampa dari cahaya petunjuk-Nya
Keikhlasan, Muroqobah dan ketakwaan
Berhentilah di terminal Ruhiyah
Agar kalah nafsu amarah
Tipu daya yang berbingkai kemunkaran
Selamat dari jurang ujub, nifaq dan riya
Berhentilah di terminal Ruhiyah
Agar sadar bahwa dunia fana
Agar selalu ingat kematian
Di kala dunia mencengkram jiwa
Aku menangis mendengar bait-bait
syair nasyid yang kuputar lewat HP ku. Sepasang earphone terpasang rapi di
telingaku. Ya Allah kiranya apa yang sedang terjadi dengan batinku ini. Begitu
pelik masalah yang mesti kuhadapi. Begitu banyak beban yang tersangga di
pundakku. Semuanya menghilangkan keindahan taman ruhiyah yang semakin kering
sejak aku lama tinggalkan. Aku beristighfar dan larut dalam tangisan diam.
“ Kau tahu Bang Yas gak? “
terdengar suara seorang akhwat di perbatasan hijab tak jauh dari tempatku
duduk.
“ Siapa yang gak kenal dia sih
Ukh. Dia yang paling bijaksana di kampus ini. Paling pinter, paling sholeh,
paling bagus ngajinya. Pokoknya Top deh…” akhwat yang lain menimpali.
“ Bener ukh…semua orang kalau ada
masalah pasti curhatnya ke dia. And you
know ukh, setelah itu kita yang curhat pada semangat kembali. Subhanallah
khan? Pokoknya Bang Yas itu sumber dari segala sumber deh,” ujar akhwat pertama
tak mau kalah.
“ Bener tuh ukh…tau gak
ukh….bla…bla…bla…bla… “ kedua akhwat itu meneruskan percakapannya.
Tiba-tiba suara-suara itu perlahan
menghilang. Aku mengencangkan volume musik yang sedang kudengarkan. Aku merasa
terganggu. Aku merasa dilemparkan di suatu malam yang tak berbintang sedikit
pun. Kelam, gelap, dan gulita.
Mata-mata itu kemudian
menyergapku seketika. Mereka menatapku tanpa belas kasih. Seolah menelanjangi
semua yang kupunya. Mata-mata itu muncul semakin banyak. Saat kupejamkan mata,
mata-mata itu masih terbayang di segala penjuru otakku. Semakin memenuhi
benakku dan mencampuri segala udara yang kuhembuskan.
“ Ilahi…Ilahi…Ilahi!!!!”
Puncaknya aku menjerit
sekencang-kencangnya. Beberapa pasang mata yang berada di dalam Masjid
menatapku heran. Suara-suara akhwat di balik hijab itu terhenti seketika. Aku
membuka mata. Kutarik earphone yang masih menggantung di telingaku. Aku menarik
nafas dalam-dalam. Mata-mata itu sudah hilang tak tentu rimba. Sekelilingku
terlihat hening senyap. Aku segera bangkit dan bergegas. Ilahi, kenapa aku
menjadi kacau seperti ini? Astaghfirullah Alladzim…
***
Kajian malam itu kubawakan dengan
tidak penuh bersemangat seperti biasanya. Adik-adik kelas yang melihat ke
arahku menaruh curiga pada diriku. Usai kajian, Rahman, adik kelasku mendekati.
“ Bang, kau sakit ya? Hari ini
kau tampak tidak seperti biasanya?” Rahman mendatangiku di tempat aku
memberikan kajian tadi.
“ Iya Bang, wajahmu juga terlihat
pucat dan suram. Ada
apa bang?” Febri, adik kelas lainnya ikut mendekat.
Aku tersenyum kecil. Dengan
bersikap tegar aku menggelengkan kepala. “ Tidak akhi, abangmu ini baik-baik
saja,” ujarku pelan.
“ Kau sakit bang?” selidik
Rahman.
Aku tidak menjawab. Aku hanya
mengingat, sebelum pergi ke tempat dauroh ini aku hanya makan nasi uduk saja
pagi tadi.
“ Saya hanya perlu istirahat saja
akhi,” ujarku pada akhirnya. Dengan sigap Rahman dan Febri mengantarku ke kamar
panitia. Aku mengikuti.
“ Istirahat saja dulu bang, biar
nanti kami minta akhwat menyiapkan makanan untukmu,” ujar Rahman, sang ketua
panitia.
Aku tak bersuara lagi. Segera
kubaringkan tubuhku di atas kasur busa itu. Lalu kupejamkan mata
sekuat-kuatnya. Aku tak ingin membayangkan mata-mata itu lagi. Aku tak ingin.
Aku hanya ingin istirahat dan tidur. Tak lama aku pun terlelap.
***
“ Ilahiiii!!!!!”
Aku berteriak kencang. Mata-mata
itu muncul kembali. Kali ini lebih banyak dari biasanya. Menjadikan aku sebagai
terdakwa yang sedang dilihat beratus-ratus mata yang ku tak tahu milik siapa.
Sepasang tangan lalu mendorongku ke dasar sebuah lubang dalam.
“ Ilahiiiiii!!!!”
Suaraku parau. Aku jatuh di dasar
lubang itu. Meninggalkan rasa perih yang tak bisa kuceritakan. Sepasang mata
yang paling besar terlihat begitu mengerikan di hadapanku.
“ Tahukah kau orang yang paling
menyedihkan? Dia adalah orang yang tidak merasakan kegembiraan ketika bertemu
dengan Allah. Seperti kau mengerjakan sesuatu yang kamu senangi dan berharap
orang lain senang dengan pekerjaanmu tetapi mereka tidak senang dengan apa yang
kau kerjakan. Seperti kau mengharapkan orang lain senang dengan apa yang kau
lakukan tetapi kenyataannya tidak ada yang senang dengan yang kau lakukan. Kau
menunjukkannya kepada yang lain, tetapi orang lain sibuk dengan yang lainnya
dan tidak memedulikan dirimu,”
Suara itu terdengar menggelegar
di setiap ruang pendengaranku. Aku menggigil ketakutan. Kupejamkan mata
serapat-rapatnya.
“ Tahukah kau orang yang paling menyedihkan? Orang yang menemui Dzat
Yang Maha Pengasih tetapi orang itu tidak melihat kegembiraan dari Dzat itu.
Kau seharusnya beribadah secara sembunyi, tidak untuk diperlihatkan. Demi
Allah…kau tidak akan menemui siapapun yang paling pengasih kecuali Allah!”
Aku semakin ketakutan. Bait demi
bait kata-kata yang diucapkan makhluk itu terasa menusuk hatiku perlahan namun
tepat di jantungku. Mengoyak setiap pertahanan keimanan yang kubangun dengan
jatuh bangun.
“ Dan jika Allah tidak memberikan ampunan-Nya kepadamu, maka tak ada
makhluk yang bisa memberikan ampunan padamu. Orang-orang sebelum kamu pernah
berkata ‘Demi Allah, andaikan aku diberikan pilihan untuk diadili oleh orang
tuaku sendiri atau diadili oleh Allah, sungguh aku akan memilih diadili oleh
Allah karena dia Maha Pengasih daripada orang tuaku,’. Itu yang mereka
katakan,”.
Aku menangis. Air mataku
berkejaran semakin cepat. Seluruh tulangku seolah dicelos satu persatu.
“ Lihat dirimu Yas! Apakah kau bangga dengan dirimu? Apakah kau bangga
dengan amalanmu? Apakah kau merasa bahwa semua orang membanggakanmu? Dan kau
merasa bahwa engkau yang paling hebat? “ suara itu tiba-tiba terdengar
bagai silet yang menyayat tubuhku.
“ Tidaaakkkkkk!!!! Aaa..kuu tiii..daak
pernah baaa..ngga…” aku mulai memberanikan diri berbicara. Kuangkat beban yang
berpuluh-puluh ton dari lidahku. Menghasilkan gumaman kecil hampir tak bernada.
“ BOOHOONNG!!!”
Suara makhluk itu menerpaku lebih
keras.
“ Tanya pada hatimu! Tanya pada
nuranimu! Apakah benar yang kau lakukan itu murni dengan keikhlasan?
TANYAKANN!!” suara itu masih terdengar keras.
“ Aku tidak pernah bangga!” aku
beranikan berteriak walaupun tenggorokkanku terasa tercekat.
“ Tidak pernah bangga?? Ketika
kau menjadi tempat teman-temanmu bercerita kau merasa bahwa engkau adalah yang
terbaik! Ketika kau menyuruh orang lain mengerjakan amal sholeh, kau merasa
bahwa amalanmu lebih banyak dari mereka! Kau…..”
“ TIIIDDDAAKKKKK!!!!!” aku
berteriak. Aku tak tahan mendengar suara itu lagi. Aku tidak pernah seperti
itu. Aku…aku…aku…
“ Kau akan ditolak di hadapan Allah!”
“ Amalanmu akan ditolak!”
“ Allah tidak akan menerimamu!!!”
“ Allah tidak akan senang padamu!!”
“ Allah akan….”
“ Allah akan…”
Mata-mata itu semakin banyak dan
menatapku tajam. Bermunculan…. bermunculan dan terus bermunculan. Aku
dikelilingi mata-mata itu. Aku terdesak dan semakin terhimpit.
“ Ilahi!!! Ilahi!!! Ilahi!!! “
Aku berteriak sekencangnya. Tak peduli suaraku yang akan habis setelahnya. Kemudian
aku kembali terdorong ke dalam sebuah lubang tak berdasar yang semakin menjauh
dari tempatku tadi berpijak.
“ILAHI!!!”
Teriakku terakhir kalinya.
Kupasrahkan tubuhnya jatuh tak berarah.
“ Ilahi….aku tak layak ke surga-Mu… Tapi aku tak sanggup ke
neraka-Mu…Ilahi…Ilahi…Ilahi….”
Dan semuanya menjadi gelap.
***
“ Bang…Bang…Bang…”
Satu suara terdengar di
telingaku. Aku mengerjapkan mata. Sinar memasuki iris mataku. Mataku terbuka.
“ Bang, kau baik-baik saja?”
sesosok Rahman ada di hadapanku.
“ Kau mengingau bang. Kau pasti bermimpi
buruk. Istighfar Bang,” tambah Febri. Dia menyodorkan segelas air putih padaku.
Aku terbangun. Kemudian mengusap
wajahku.
“ Aku baik-baik saja,” ujarku
usai menelan air putih yang diberikan Febri. Dzikir memenuhi ruang hatiku.
“ Kau yakin Bang?” Rahman
terlihat ragu.
Aku mengangguk pelan. Mencoba
membuat situasi terlihat normal. “ Jam berapa sekarang?”.
“ Adzan Shubuh baru saja
berkumandang. Kami kemari untuk mengajakmu sholat berjama’ah bang,” tutur
Febri.
Aku segera beranjak kemudian
bersama kami menuju aula villa untuk melaksanakan sholat Subuh berjam’ah. Aku
menolak menjadi Imam kali itu. Aku melihat sekeliling, tak ada mata-mata lagi
yang memperhatikanku. Kucoba meresapi setiap gerakan dan bacaan yang kulakukan
hari ini.
Ilahi…sungguh aku tak layak ke surga-Mu
Namun aku tak sanggup ke neraka-Mu
Ampunkanlah dosaku
Dan terimalah taubatku…
Ilahi…Ilahi…Ilahi…
Aku menangis meratapi apa yang
terjadi padaku semalam. Sungguh…aku benar-benar tak layak untuk masuk ke
surga-Mu Ya Allah..
***
“ Assalamu’alaikum…Bang aku ingin curhat Bang. Aku terlibat masalah.
Aku perlu bantuan Bang,”
Sms dari adik kelasku lagi. Aku
tak segera membalasnya. Tadi pagi seorang teman juga datang ke tempat kost ku
untuk meminta kesediaanku berbagi rasa dengannya.
“ Bang, aku kehilanganmu bang. Kau jarang terlihat di kampus bang,”
suara yang lain terdengar.
“ Bang, aku memerlukanmu bang…” satu suara lainnya.
“ Bang, kenapa tak hadir pada kajian kemarin?”
“ Bang….”
Ya Allah…biar aku merasakannya
sendiri saja.
Ya Allah…biar aku mendahulukan
cinta-Mu di atas segalanya.
Ya Allah…biar aku meraih cinta
–Mu.
Ya Allah…….
Aku berjalan menyusuri hari yang
mulai senja. Semilir angin berhembus menerpa wajahku. Sungguh Ya Rabbi, aku tak
layak ke surga-Mu….aku tak layak ke surga-Mu…aku tak layak ke surga-Mu…***(yas)
September 12, 2011
@my office, 13.45 am
Beribu kangen kupersembahkan untuk Dia yang tercinta…