Shaum, Iffah, dan Mewaspadai Kemewahan

Islam edia - Al Qur’an berbeda dengan sistem-sistem lain buatan manusia. Substansinya tidak akan membiarkan prinsip-prinsip dan ajaran-aja...

Islamedia - Al Qur’an berbeda dengan sistem-sistem lain buatan manusia. Substansinya tidak akan membiarkan prinsip-prinsip dan ajaran-ajarannya hanya menjadi teori dalam jiwa, pendapat dalam kitab, dan kata-kata yang menghiasi bibir. Ia  mewajibkan umat yang mengimani serta tunduk padanya untuk konsen pada berbagai amal, dan menjadikan amal tersebut sebagai kewajiban yang tidak mentolerir adanya pengabaian.

Kewajiban-kewajiban terpenting yang dijadikan oleh system ini sebagai pilar penanaman prinsip salah satunya adalah Shaum, Iffah (menjaga diri), dan mewaspadai kemewahan.

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Q. S Al Ahzab (33) : 35)

Bagi mukmin yang berpuasa, tidak hanya dimensi keshalehan individual yang diasah. Puasa dalam Al Qur’an disebut dengan shaum berarti tidak makan dan minum, menjaga diri (Iffah), dan mewaspadai kemewahan. Menjaga diri ini memiliki dua dimensi yang berbeda, dimensi individual dan dimensi sosial. Kita yang berpuasa dengan segala amalannya berupaya untuk lebih dekat kepada Allah swt dan meraih pahala-Nya.

Menjaga Diri Saat Berpuasa

Kebanyakan dari kita yang berpuasa, hanya menahan rasa haus dan lapar. Pandangan masih tetap seperti hari biasa yang tak berhijab. Antara anggota tubuh; mata, tangan, kaki, mulut akan selalu terhubung dengan syahwat manusia. Syahwat yang terdapat pada anggota tubuh itulah yang akan membawa kita kepada maksiat.

“Berapa banyak orang yang berpuasa namun ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Shaum yang sebenarnya adalah mengaplikasikan makna dari shaum itu sendiri. Upaya kita untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dengan menjaga diri agar tidak terjerumus dalam maksiat. Anggota tubuh yang menjadi pintu gerbang diumbarnya syahwat harus terhijab saat kita melaksanakan ibadah shaum.

Kesadaran yang tidak pernah muncul dalam diri kita ketika shaum (puasa) adalah kita tidak pernah shaum untuk Allah. Remaja-remaja shaum hanya takut kepada orang tua, selama jauh dari pengawasan orang tua mereka bebas melakukan maksiat yang sesungguhnya Allah senantiasa mengawasi.

Sadar atau tidak sadar, nilai shaum yang sempurna selalu dirusak oleh bagian tubuh kita. Salah satunya adalah lidah. Perkataan kita sering kali menyakiti orang lain ataupun mengeluarkan kata-kata yang berderajat rendah dimata Allah. Begitulah syaitan bermain dengan berbagai macam godaannya. Bagi kita yang terzalimi oleh lidah seseorang, hendaknya tidak terbawa emosi sehingga lidah kita juga tidak terjaga.

“Bila salah seorang dari kalian berpuasa maka hendaknya ia tidak berbicara buruk dan aib. Dan jangan berbicara yang tiada manfaatnya dan bila dimaki seseorang maka berkatalah, “Aku berpuasa.” (HR. Bukhari)

Mata juga merupakan gerbang rusaknya shaum. Menjaga pandangan dari yang haram adalah kewajiban agar puasa yang kita kerjakan tidak hanya sebatas menahan lapar dan dahaga. Puasa yang tidak menambah pelakunya lebih memelihara mata dari yang haram, menjadikan puasa itu nyaris tak memiliki pengaruh apapun dalam perbaikan diri. Karenanya boleh jadi puasnya secara hukum sah, tapi substansi puasa itu tidak akan tercapai.

Kebiasaan yang seringkali dilakukan seorang muslim ketika berpuasa adalah makan berlebihan. Aspek menjaga diri dan tidak terjebak dalam kemewahan seringkali gugur ketika pola makan pada saat berpuasa begitu liarnya. Jika saat berbuka puasa menjadi saat melahap semua keinginan nafsunya yang tertahan sejak pagi hingga petang, menjadikan saat berbuka sebagai kesempatan “balas dendam” dari upaya menahan lapar dan haus selama siang hari, maka nilai pendidikan puasa akan hilang.

Puasa pada hakikatnya adalah pendidikan bagi jiwa untuk mengendalikan diri dan menahan hawa nafsu. Hasil pendidikan itu akan tercermin dalam pribadi orang yang lebih bisa bersabar, menahan diri, tawakkal, pasrah, tidak emosional, tenang dalam menghadapi berbagai persoalan. Puasa menjadi kecil tak bernilai dan lemah unsur pendidikannya ketika upaya menahan dan mengendalikan nafsu itu hancur oleh pelampiasan nafsu yang dihempaskan saat berbuka

Hikmah Puasa

Hassan al Banna mengatakan bahwa puasa, iffah, dan mewaspadai kemewahan adalah suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Hikmah dari shaum ini dalam dimensi keshalehan pribadi adalah manifestasi dari pernyataan iman, menguasai nafsu, latihan disiplin, latihan ketabahan dan kesabaran, perisai dari godaan-godaan hidup, dan menjaga kesehatan

Dalam dimensi sosial, shaum mengajarkan kita untuk menanamkan perasaan kekeluargaan dan persaudaraan, menanamkan perasaan kasih sayang kepada fakir miskin. Inilah puasa khusus, puasanya orang-orang shaleh. Setiap yang dikerjakan saat menahan dahaga adalah kebaikan-kebaikan. Kebaikan bagi dirinya karena akan mulia di sisi Allah dan kebaikan bagi orang banyak dengan memenuhi hak orang lain dalam ibadah puasanya.

Puasa adalah ibadah yang melatih seseorang agar mampu ikhlas dan meninggalkan sifat riya’, sebab tidak ada yang mengetahui orang yang berpuasa sunnat selain Allah. Dialah yang akan memberi pahala terhadap orang-orang yang berpuasa dengan balasan yang pantas.

Yandri Rama P.