Islam edia - Credit cards are a major part of the world financial crisis, hundred of thousands of people went into debt and even worse in ...
Islamedia - Credit cards are a major part of the world financial crisis, hundred of thousands of people went into debt and even worse in a vicious circle of debt. There is barely on consumer level a financial product spreading more harm, whether or not it is Islamically replicated.( Michael Salleh Gassner, Islamic Financial Expert From Zurich )
Sejak bulan Maret 2011, Brunei Darusallam, sebuah negara kecil di utara pulau Kalimantan telah memberikan batasan yang tegas dan ketat bagi kepemilikan kartu kredit. Dan berusaha untuk meminimalkan jumlah penerbit kartu kredit yang dapat menekan angka kredit macet. Bukan rahasia lagi dalam dunia keuangan khususnya di Indonesia, penggunaan kartu kredit secara tidak bijak dan tidak melihat asas antara wants dan needs apalagi jika kartu kreditnya konvensional dapat berujung pada petaka yang menimpa nasabah pelanggan kartu kredit itu sendiri. Brunei Darusalam arahan menteri keuangan setempat menegaskan, komitmen penerbit kartu kredit untuk memperketat penerbitan kartu kredit dengan syarat jumlah pemasukan pemegang kartu kredit dan harus membayar 5 % setiap bulan dari penggunaan kartu kredit untuk mencegah tunggakan yang membengkak.
Pada tahun 2007, di Amerika Serikat, Presiden Barrack Obama, telah bertemu dengan sejumlah perusahaan penerbit kartu kredit dan mengingatkan nasabah berhak mendapatkan perlindungan dari praktik atau iming-iming penerbitan kartu kredit yang tidak adil dan merugikan. Karena bukan rahasia lagi, negeri yang sedang dalam tahap recovery dengan disertai tingkat pengangguran tinggi tersebut sejak telah lama memiliki problem hutang terbesar di muka bumi.
Perusahaan pemeringkat Moody ‘s Investors Service telah mengestimasi adanya lonjakan hutang tidak tertagih dari pemegang kartu kredit sekitar 8,8 % pada bulan February, sebuah lonjakan uncollectible debt of credit card yang tertinggi sejak 20 tahun terakhir. Kalau seorang analis Moody’s Investor Service mengatakan adanya resesi besar yang terjadi pada tahun 2007-2009 berpengaruh banyak pada jumlah uncollectible debts maka sesungguhnya semuanya bermula dari gaya hidup masyarakat Amerika Serikat yang demikian konsumtif hingga tak heran Oprah Winfrey, pernah menampilkan sebuah keluarga yang assetnya hanyalah hutang ! kita bisa bayangkan bagaimana keluarga tersebut tidak pernah tidur dengan tenang dengan silih bergantinya tagihan yang mencapai jutaan dollar. Ditambah tingkat bunga yang harus dibayar oleh nasabah pemegang kartu kredit rata-rata di Amerika Serikat cukup besar berkisar antara 14,2 % pada bulan April, hingga 13,4 %. Untuk itulah Barrack Obama, sama halnya dengan Brunei Darusalam, mengetatkan penerbitan kartu kredit,
Di Indonesia, kasus petaka yang menimpa seorang nasabah Citibank bukanlah yang pertama. Namun yang menjadi pertanyaan, dimanakah kepekaan regulator dan perbankan dalam mengatur pemasaran kartu kreditnya. Keduanya, baik nasabah ataupun pihak perbankan sama-sama teledor dalam perencanaan keuangan personal. Dari aspek perbankan, pemasaran kartu kredit demikian agresif dilancarkan, sejumlah perusahaan penerbit kartu kredit bekerja sama dengan jaringan supermarket terutama Hypermarket seperti Carrefour dan Giant. Dan faktanya, aktivitas perbankan dalam menjaring nasabah pengguna kartu kredit benar-benar berjalan sukses dengan data setiap tahun jumlah pengguna kartu kredit semakin meningkat, dalam jangka waktu lima tahun pengguna kartu kredit meningkat sebesar 18 % rata-ratanya.
Bukan hal yang aneh di pelbagai pojok ibukota kita temui iklan yang demikian menggiurkan dari mulai diskount nongkrong di Starbuck hingga fixed installment setahun KPR. Sebagaimana pemasaran tabungan dan deposito perbankan konvensional yang juga agresif demi meningkatkan loyalitasnya agresivitas perbankan dalam menjaring nasabah tidak berperan apa-apa dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Karena NPL (Non Performing Loan ) berpotensi beranjak meningkat akhirnya bank lebih memilih menyalurkan dana pihak ketiga pada Sertifikat Bank Indonesia yang lebih dikenal dengan nama SBI apalagi kalau disalurkan dalam bentuk pembiayaan kepada sektor mikro yang dapat tercermin dari masih rendahnya Lending Deposit Ratio atau LDR perbankan nasional pada tahun 2011.
Jumlah pemegang kartu kredit, menurut Bank Indonesia masih akan terus meningkat pada tahun ini saja ada sekitar 13,4 juta pemegang kartu kredit dan diestimasikan masih ada lonjakan penggunaan kartu kredit pada tahun depan. Belum ditambah sejumlah data tidak resmi yang mengestimasikan jumlah pengguna setiap tahun naik sebesar 10 % artinya yang kita temukan berkebalikan apa yang mulai digagas di Brunei Darusallam dan Amerika Serikat yang mulai mengikatkan sabuk pengetatan penerbitan kartu kredit. Memberikan imbauan moral agar bersikap wise terhadap kartu kredit tidak saja cukup. Tetapi juga perspektif filter moral harusnya juga jadi pertimbangan bagi calon nasabah. Bukan persoalan boleh atau tidak boleh tetapi layak atau tidak layak. Pantas atau tidak pantas. Sepertinya hanya kasus di perbankan syariah yang menerbitkan kartu kredit yang hanya memperhatikan perspektif hukum syariah. Karena perspektif seperti ini apapun yang diajukan perbankan syariah pada dewan pengawas syariahnya pasti akan mendapatkan approval. Akhirnya replication menjadi tidak terelakan. Pantas publik menilai perbankan syariah tidak ada bedanya dengan perbankan konvensional karena perspektifnya selain untuk menggenjot asset juga memperluas pangsa pasar.
Teori Marginal Utilitas di setiap teksbook pengantar ekonomi mikro selalu mengajarkan kepada para mahasiswa, every person shall effort to reach maximum pleasant by more consuming too, ketika mencapai titik puncak, konsumsi menurun disebabkan jenuh dan berpindah ke konsumsi barang lain kemudian berjuang mencapai titik maksimum agar mencapai “kepuasan maksimum ‘ kemudian jenuh dan seterusnya. Ini semua tidak pernah ada referensinya dalam cara berekonomi masyarakat yang beradab hanya dapat dijelaskan dalam fisafatnya John Bentham yang menjadikan rasa “sakit’ atau “nyaman” sebagai indikator utilitas. Itulah awal lahirnya Hedonisme. Kalau sudah demikian paradigmanya, maka hutang ibarat candu dan bunga kredit konsumtif sebagai lingkaran setannya yang tidak pernah puas.
Berbalik dengan Islam yang memandang kemanfaatan dan maslahah sebagai indikator utilitasnya. Akhirnya pelaku ekonomi Islam akan memaksimalkan konsumsinya bukan hanya untuk kepentingan dirinya sendiri tetapi orang lain disekitarnya. Karena kehormatan dirinya bukan pada seberapa banyak harta yang ia kumpulkan tetapi seberapa berarti harta tersebut digunakan untuk kemaslahatan ummat dalam bentuk sedekah dan Zakat. Benarnya apa yang dikatakan Baginda Nabi SAW “ sebaik-baiknya harta adalah yang berada di tangan orang yang shalih “
Sejak bulan Maret 2011, Brunei Darusallam, sebuah negara kecil di utara pulau Kalimantan telah memberikan batasan yang tegas dan ketat bagi kepemilikan kartu kredit. Dan berusaha untuk meminimalkan jumlah penerbit kartu kredit yang dapat menekan angka kredit macet. Bukan rahasia lagi dalam dunia keuangan khususnya di Indonesia, penggunaan kartu kredit secara tidak bijak dan tidak melihat asas antara wants dan needs apalagi jika kartu kreditnya konvensional dapat berujung pada petaka yang menimpa nasabah pelanggan kartu kredit itu sendiri. Brunei Darusalam arahan menteri keuangan setempat menegaskan, komitmen penerbit kartu kredit untuk memperketat penerbitan kartu kredit dengan syarat jumlah pemasukan pemegang kartu kredit dan harus membayar 5 % setiap bulan dari penggunaan kartu kredit untuk mencegah tunggakan yang membengkak.
Pada tahun 2007, di Amerika Serikat, Presiden Barrack Obama, telah bertemu dengan sejumlah perusahaan penerbit kartu kredit dan mengingatkan nasabah berhak mendapatkan perlindungan dari praktik atau iming-iming penerbitan kartu kredit yang tidak adil dan merugikan. Karena bukan rahasia lagi, negeri yang sedang dalam tahap recovery dengan disertai tingkat pengangguran tinggi tersebut sejak telah lama memiliki problem hutang terbesar di muka bumi.
Perusahaan pemeringkat Moody ‘s Investors Service telah mengestimasi adanya lonjakan hutang tidak tertagih dari pemegang kartu kredit sekitar 8,8 % pada bulan February, sebuah lonjakan uncollectible debt of credit card yang tertinggi sejak 20 tahun terakhir. Kalau seorang analis Moody’s Investor Service mengatakan adanya resesi besar yang terjadi pada tahun 2007-2009 berpengaruh banyak pada jumlah uncollectible debts maka sesungguhnya semuanya bermula dari gaya hidup masyarakat Amerika Serikat yang demikian konsumtif hingga tak heran Oprah Winfrey, pernah menampilkan sebuah keluarga yang assetnya hanyalah hutang ! kita bisa bayangkan bagaimana keluarga tersebut tidak pernah tidur dengan tenang dengan silih bergantinya tagihan yang mencapai jutaan dollar. Ditambah tingkat bunga yang harus dibayar oleh nasabah pemegang kartu kredit rata-rata di Amerika Serikat cukup besar berkisar antara 14,2 % pada bulan April, hingga 13,4 %. Untuk itulah Barrack Obama, sama halnya dengan Brunei Darusalam, mengetatkan penerbitan kartu kredit,
Di Indonesia, kasus petaka yang menimpa seorang nasabah Citibank bukanlah yang pertama. Namun yang menjadi pertanyaan, dimanakah kepekaan regulator dan perbankan dalam mengatur pemasaran kartu kreditnya. Keduanya, baik nasabah ataupun pihak perbankan sama-sama teledor dalam perencanaan keuangan personal. Dari aspek perbankan, pemasaran kartu kredit demikian agresif dilancarkan, sejumlah perusahaan penerbit kartu kredit bekerja sama dengan jaringan supermarket terutama Hypermarket seperti Carrefour dan Giant. Dan faktanya, aktivitas perbankan dalam menjaring nasabah pengguna kartu kredit benar-benar berjalan sukses dengan data setiap tahun jumlah pengguna kartu kredit semakin meningkat, dalam jangka waktu lima tahun pengguna kartu kredit meningkat sebesar 18 % rata-ratanya.
Bukan hal yang aneh di pelbagai pojok ibukota kita temui iklan yang demikian menggiurkan dari mulai diskount nongkrong di Starbuck hingga fixed installment setahun KPR. Sebagaimana pemasaran tabungan dan deposito perbankan konvensional yang juga agresif demi meningkatkan loyalitasnya agresivitas perbankan dalam menjaring nasabah tidak berperan apa-apa dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Karena NPL (Non Performing Loan ) berpotensi beranjak meningkat akhirnya bank lebih memilih menyalurkan dana pihak ketiga pada Sertifikat Bank Indonesia yang lebih dikenal dengan nama SBI apalagi kalau disalurkan dalam bentuk pembiayaan kepada sektor mikro yang dapat tercermin dari masih rendahnya Lending Deposit Ratio atau LDR perbankan nasional pada tahun 2011.
Jumlah pemegang kartu kredit, menurut Bank Indonesia masih akan terus meningkat pada tahun ini saja ada sekitar 13,4 juta pemegang kartu kredit dan diestimasikan masih ada lonjakan penggunaan kartu kredit pada tahun depan. Belum ditambah sejumlah data tidak resmi yang mengestimasikan jumlah pengguna setiap tahun naik sebesar 10 % artinya yang kita temukan berkebalikan apa yang mulai digagas di Brunei Darusallam dan Amerika Serikat yang mulai mengikatkan sabuk pengetatan penerbitan kartu kredit. Memberikan imbauan moral agar bersikap wise terhadap kartu kredit tidak saja cukup. Tetapi juga perspektif filter moral harusnya juga jadi pertimbangan bagi calon nasabah. Bukan persoalan boleh atau tidak boleh tetapi layak atau tidak layak. Pantas atau tidak pantas. Sepertinya hanya kasus di perbankan syariah yang menerbitkan kartu kredit yang hanya memperhatikan perspektif hukum syariah. Karena perspektif seperti ini apapun yang diajukan perbankan syariah pada dewan pengawas syariahnya pasti akan mendapatkan approval. Akhirnya replication menjadi tidak terelakan. Pantas publik menilai perbankan syariah tidak ada bedanya dengan perbankan konvensional karena perspektifnya selain untuk menggenjot asset juga memperluas pangsa pasar.
Teori Marginal Utilitas di setiap teksbook pengantar ekonomi mikro selalu mengajarkan kepada para mahasiswa, every person shall effort to reach maximum pleasant by more consuming too, ketika mencapai titik puncak, konsumsi menurun disebabkan jenuh dan berpindah ke konsumsi barang lain kemudian berjuang mencapai titik maksimum agar mencapai “kepuasan maksimum ‘ kemudian jenuh dan seterusnya. Ini semua tidak pernah ada referensinya dalam cara berekonomi masyarakat yang beradab hanya dapat dijelaskan dalam fisafatnya John Bentham yang menjadikan rasa “sakit’ atau “nyaman” sebagai indikator utilitas. Itulah awal lahirnya Hedonisme. Kalau sudah demikian paradigmanya, maka hutang ibarat candu dan bunga kredit konsumtif sebagai lingkaran setannya yang tidak pernah puas.
Berbalik dengan Islam yang memandang kemanfaatan dan maslahah sebagai indikator utilitasnya. Akhirnya pelaku ekonomi Islam akan memaksimalkan konsumsinya bukan hanya untuk kepentingan dirinya sendiri tetapi orang lain disekitarnya. Karena kehormatan dirinya bukan pada seberapa banyak harta yang ia kumpulkan tetapi seberapa berarti harta tersebut digunakan untuk kemaslahatan ummat dalam bentuk sedekah dan Zakat. Benarnya apa yang dikatakan Baginda Nabi SAW “ sebaik-baiknya harta adalah yang berada di tangan orang yang shalih “
Willy Mardian,
Kepala Departemen Nasional Riset dan Pengembangan Ekonomi Islam FoSSEI
Desa Cadas Ngampar , 12 Jumadil Akhir 1432 H
Desa Cadas Ngampar , 12 Jumadil Akhir 1432 H