Islam edia - Darsem bin Dawut (25 tahun) tengah gelisah menunggu 7 Juli. Pada hari itu telah ditentukan jadwal hukuman pancung baginya ...
Islamedia - Darsem bin Dawut (25 tahun) tengah gelisah menunggu 7 Juli. Pada hari itu telah ditentukan jadwal hukuman pancung baginya yang telah diputuskan tahun 2009 lalu. Beruntung bagi Darsem, pihak keluarga korban akhirnya menurunkan tuntutannya(tanazul) dan memberi peluang bagi Darsem untuk lolos hukuman pancung dengan membayar denda (diyat) sebesar dua juta riyal atau setara dengan 4,7 milyar. Terakhir pada Rabu, 22 Juni kemarin, pihak Kementrian Luar Negeri menegaskan bahwa dana tersebut sudah siap dan diambilkan dari anggaran perlindungan hukum. Banyak pihak sedikit bernafas lega dengan hal ini.
Namun perlu juga kita sedikit mengkaji tentang kelayakan vonis mati bagi Darsem yang ditentukan oleh pengadilan Riyadh, Arab Saudi. Darsem divonis mati karena terbukti bersalah membunuh Waled bin Salem Assegaf, saudara dari majikan tempatnya bekerja. Waled meninggal dengan tidak kurang 45 hantaman benda tumpul bersarang di kepala. Mengapa Darsem bisa berubah menjadi sekeji itu ? Ternyata terungkap bahwa Darsem mati-matian membela diri saat akan diperkosa oleh Waleed di pagi hari tahun 2007 saat majikannya tengah bepergian dan dirumah hanya ada Darsem, Walid, dan seorang anak majikan yang tertidur pulas di kamarnya.
Sebenarnya sudah menjadi kelakuan Waled menggoda-goda dan merayu Darsem saat tengah sibuk bekerja, dan Darsem sama sekali tidak menghiraukannya. Namun naas bagi Darsem, saat ia ingin beristirahat sejenak di kamar tidurnya tiba-tiba saja Waled nyelonong memasuki kamar Darsem dan menindih tubuh Darsem. Spontan Darsem terkejut dan langsung mendorong Waled hingga terjatuh ke lantai. Darsem langsung berlari ke dapur, namun Waled terus mengejar. Darsem pun akhirnya menemukan martil dan dipukulnya kepala Darsem dengan martil itu. Perlawanan berlangsung sengit hingga berakhir dengan terkaparnya Waled. Darsem pun begitu panik dengan kematian Waled, lalu diambilnya selimut untuk membungkus mayat Waled dan dimasukkan ke Tangki penampungan air. Pada hari itu pula kejadian itu terungkap, dan Darsem ditangkap atas tuduhan pembunuhan.
Secara sederhana, Darsem membunuh Waled dalam rangka mempertahankan diri dan kehormatannya sebagai muslimah dan ibu dari seorang anak. Kebuasan Waled yang ingin memperkosanya menjadikannya naluri mempertahankan diri Darsem memuncak hebat dan akhirnya berujung kepada kematian Waled. Lantas, apakah membunuh karena mempertahankan diri layak mendapatkan vonis mati, terlepas dari perkembangan selanjutnya tentang permakluman dari keluarga korban atas inisiatif KBRI di Riyadh. Saya ingin sedikit mengkaji dengan sederhana hal ini dalam dua persepktif yaitu fikih dan historis.
Pertama : Perspektif Fikih
Dalam syariat Islam ada beberapa kondisi tertentu yang menjadikan seseorang kemudian ‘dimaklumi’ saat melakukan sebuah pembunuhan atau kejahatan pidana lainnya. Dr. Abdul Qodir Audah, - yang juga meninggal di tiang gantungan- menuliskan dalam buku monumentalnya Tasyri Jinai Al-Islami ( Perundangan Pidana Islam), tentang beberapa sebab dan kondisi tersebut. Beliau menuliskan sebab yang pertama adalah ad-difa’ syar’iy (mempertahankan diri sesuai syariat). Para fuqoha jauh-jauh hari telah memberikan istilah khusus tentang membunuh karena pertahanan diri dengan sebutan daf’u so-il. Jadi jika seseorang membunuh dalam rangka mempertahankan diri, atau hartanya dari segala gangguan yang kuat dan berlebihan, maka hal tersebut bisa menjadi sebab gugur atau tercabutnya hukuman qishos darinya.
Landasan dalil syari dari hal ini adalah ayat Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW :
Allah SWT berfirman : “Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa”. (QS Al Baqoroh 194)
Rasulullah SAW bersabda : “ Barang siapa yang dirampas hartanya tanpa alasan yang benar, lalu ia melawan (mempertahankan diri), kemudian ia terbunuh, maka ia syahid “ (HR Tirmidzi dari Abdullah bin Umar)
Rasulluah SAW juga menjelaskan : “ Barangsiapa yang dibunuh karena hartanya maka dia syahid, barangsiapa dibunuh karena agamanya maka dia syahid, barangsiapa yang dibunuh karena darahnya maka dia syahid, barangsiapa yang dibunuh karena membela keluarganya maka dia syahid.” (HR Tirmidzi)
Maka secara fiqh , maka jika yang terungkap di pengadilan tentang pembelaan Darsem itu sepenuhnya benar, maka peluang hukuman Darsem dibatalkan atau setidaknya diringankan tidak sampai ke hukuman mati, seharusnya masih sangat terbuka. Namun tentu saja dibutuhkan usaha pembelaan yang keras dan sungguh-sungguh, dalam hal ini dari pihak KBRI Riyadh, misalnya.
Kedua : Perspektif Sejarah pada Masa Umar bin Khottob
Dalam sejarah Amirul Mukminin Umar bin Khottob, tercatat beberapa pembunuhan atas dasar pertahanan diri, dalam hal ini sama persis dengan yang dialami Darsem yaitu upaya pemerkosaan, ternyata berakhir dengan pembebasan sang pembunuh. Dan hal ini bukan saja terjadi sekali tetapi dalam beberapa kejadian sebagaimana riwayat yang kuat menuliskan.
Diantaranya yang dituliskan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya At-Thoriq Al-Hakimah ila Siyasah Syar’iyah, secara ringkasnya sebagai berikut : Ditemukan jasad seorang pemuda bersimbah darah di sebuah tempat di Madinah, tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya dan bagaimana kejadiannya. Beberapa bulan kemudian, ditempat yang sama ditemukan bayi tergeletak hidup. Umar bin Khottob dengan kecerdasannya berusaha mengaitkan dua kejadian di tempat yang sama tersebut. Lalu ia menitipkan bayi tersebut kepada seorang pengasuh bayi dan berpesan jika ada seorang yang datang dan mempunyai sikap berbeda terhadap bayi tersebut, yaitu penuh kasih sayang yang berlebihan, segera dilaporkan kepada Umar.
Maka benarlah perkiraan Umar, ada seorang putri dari kalangan syeikh Anshor yang terhormat yang terlihat begitu sayang terhadap bayi tersebut. Umar pun dengan sigap segera mendatangi rumah syaikh Anshor untuk segera menyerahkan putrinya dengan dakwaan membunuh pemuda tersebut. Bahkan tidak berlebihan Umar pun menghunus pedangnya, dan meminta putri Anshor tadi menceritakan kejadian sesungguhnya, jika tidak Umar sendiri yang akan menghukum sang putri tersebut.
Maka kemudian sang wanita tadi bercerita : Bahwa dahulu ada seorang perempuan tua yang datang ke rumahnya, dan karena kasihan maka dipersilahkan tinggal bersamanya dan dianggapnya sebagai ibunya sendiri. Ia pun menyayangi perempuan tua tersebut bagaikan ibunya sendiri. Sampai suatu ketika perempuan tadi mengatakan bahwa ia akan bepergian sementara, dan ia takut dengan kondisi putrinya, dan ia ingin menitipkan putrinya ke rumah tersebut juga selama ia pergi. Maka benar kemudian, perempuan tadi datang dengan putrinya, menitipkannya lalu pergi begitu saja. Maka putri perempuan tadi pun tinggal bersama putri anshor selayaknya teman dan sahabat. Namun ternyata pada suatu ketika, putri perempuan tadi sebenarnya adalah seorang pemuda tampan yang memang berniat untuk memperkosa putri syeikh anshor yang terhormat.
Sehingga pada suatu malam saat putri tertidur, pemuda tadi berhasil memperdaya sang putri dan merenggut kehormatannya, namun kemudian sang putri berhasil merengkuh pisau cukur yang ada di dekat ranjang dan menikam sang pemuda tampan tadi yang tengah memperkosanya dengan buas. Maka pemuda tampan itu pun tersungkur tewas, dan sang putri memerintahkan pembantunya untuk meletakkannya di jalan. Beberapa bulan kemudian, sang putri melahirkan anak hasil perkosaan tersebut, dan diletakkan kembali di jalan tempat yang sama dengan jenazah ayahnya.
Mendengar penjelasan tersebut, Umar bin Khottob pun kembali menyarungkan pedangnya dan mengatakan : Demi Allah engkau telah berkata jujur. Lalu Umar pun mendoakan kebaikan kepada putri Anshor tersebut, dan memuji syeikh Anshor dengan mengatakan bahwa putrinya adalah wanita yang sangat baik dan mulia.
Kejadian semacam ini, yaitu pembebasan dan pengampunan kepada tersangka pembunuhan karena mempertahankan diri dalam kejahatan perkosaan, bukan hanya sekali dalam pemerintahan Umar. Dua kejadian lainnya diriwayatkan dalam Mushoniif Abdu Rozaq dan Sunan Kubro nya Imam Nasa’i. Dan terlamapau panjang untuk diceritakan kembali dalam tulisan ini. Namun sederhananya, secara perspektif sejarah, Umar bin Khottob yang dikenal sebagai pemimpin dan hakim yang adil, pernah beberapa kali memvonis bebas pelaku pembunuhan atas dasar pembelaan diri dari pemerkosaan dan percobaan pemerkosaan.
Kesimpulan
Akhirnya, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menggurui ilmu para hakim di Arab Saudi, karena apalah arti ilmu penulis yang tak seberapa ini dibanding mereka. Namun tulisan ini secara khusus menyimpan pesan kepada pihak-pihak yang berwenang, khususnya pemerintah Indonesia dan KBRI di Riyadh, agar melihat hal ini sebagai peluang sekaligus motivasi untuk melakukan pembelaan yang sungguh-sungguh atas kejadian-kejadian yang semacam ini. Karena diakui atau tidak, masih banyak daftar deretan menanti persidangan TKI yang terancam hukuman mati karena membela diri dari sebuah upaya pemerkosaan.
Begitu pula, tulisan ini kami maksudkan agar pandangan kita dalam memahami syariah tidaklah sempit, bahwa pembunuhan harus selalu berakibat qishos. Penentangan terhadap vonis mati Darsem dianggap upaya melawan syariat. Tidak dan sekali-kali tidak. Syariat kita yang indah mempunyai mekanisme yang panjang bagi pelaksanaan sebuah hukuman. Ada yang disebut dengan qonun murofaat jina’iyah (hukum acara pidana), sebagaimana ada pula pertimbangan-pertimbangan yang syar’I dalam peringanan dan juga pembatalan hukuman.
Semoga kita mampu untuk terus belajar dan belajar memahami syariah yang indah ini. Salam optimis
Hatta Syamsuddin
Ingin ngobrol dengan saya ? Follow saya di Twitter @hattasy