Assalaamu ‘alaikum WrWb Ustadz Farid yang dirakhmati Alloh, bagaimana hukumnya apabila hanya memelihara jenggot yang tipis? apakah itu suda...
Assalaamu ‘alaikum WrWb Ustadz Farid yang dirakhmati Alloh, bagaimana hukumnya apabila hanya memelihara jenggot yang tipis? apakah itu sudah gugur kewajiban kita?
(@ Yadi Rosidi)
Jawaban:
Wassalaamu 'alaikum wrwb. Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ‘ala aalihi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:
Kita akan coba bahas secara terperinci pertanyaan antum, sebagai berikut:
A. Definisi Jenggot
Arti Lihyah (jenggot) dalam kitab Lisanul Arab: “Ibnu Said berkata, ‘Jenggot adalah nama untuk rambut yang tumbuh pada kedua pipi, dan juga nama untuk rambut yang tumbuh pada cambang dan dagu.’ “ Begitu pula dalam kitab Taajul Arusy dan Al Qamus.
Dalam kamus Al Munjid hal. 717 disebutkan: “Rambut yang terdapat pada dua pipi dan dagu.”
Imam an Nawawi berkata: “Adapun mengenai bulu cambang terdapat dua pendapat, namun yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh jumhur (mayoritas ulama) bahwa ia juga termasuk hukum jenggot.”
B. Perintah Rasulullah untuk Memelihara Jenggot dan Mencukur kumis adalah Pasti
Berikut ini akan kami paparkan perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk umatnya agar mencukur kumis, memanjangkan jenggot, dan berbeda dengan kaum kafir.
1. Dari Zaid bin Arqam Radhiallahu ‘Anhu ia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَأْخُذْ مِنْ شَارِبِهِ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang tidak memotong kumisnya, maka dia bukanlah golongan kami.” [1]
Imam Muhammad bin Ismail Al ‘Ajluni mengatakan dalam kitab Kasyful Khafa’ bahwa hadits ini dishahihkan oleh An Nasa’i, dan sanadnya kuat.[2] Dishahihkan pula oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani di berbagai kitabnya.[3]
Maksud hadits ini bukan berarti orang yang berkumis tebal telah keluar dari Islam, maknanya adalah orang tersebut tidak mengamalkan sunah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak berada dalam jalan dan petunjuknnya sebagaimana yang diterangkan dalam kitab Tuhfah Al Ahwadzi, [4] dan Syarh Sunan An Nasa’i.[5]
2. Dari Umar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
انْهَكُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى
“Bersungguh-sungguhlah kalian dalam mencukur kumis dan peliharalah jenggot kalian.” [6]
Apakah yang dimaksud dengan A’fuu Al Lihaa (peliharalah jenggot)? Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan, dari Ibnu Daqiq Al ‘Id artinya adalah membiarkannya. Sementara Ibnu As Sayyid menyebutkan dari sebagian ulama artinya adalah memperbaiki dengan mencukur bagian yang tidak pantas. Namun, mayoritas ulama mengatakan artinya adalah melebatkan atau memperbanyak, dan inilah yang benar. Demikian kata Al Hafizh Ibnu Hajar.[7] Namun demikian, para ulama mengatakan jika memanjangkan jenggot adalah demi syuhrah (ketenaran), maka itu adalah perbuatan yang dibenci sebagaimana dibencinya memendekkan jenggot.[8]
3.Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
“Bersungguh-sungguhlah dalam mencukur kumis dan biarkanlah jenggot, dan berbedalah dengan orang Majusi.” [9]
Imam An Nawawi memberikan penjelasan tentang hadits di atas, bahwa kebanyakan riwayat menyebutkan Arkhuu Al Lihaa, sementara riwayat Ibnu Mahan menyebutkan Arjuu Al Lihaa, namun makna keduanya adalah sama yakni panjangkan dan biarkanlah jenggot. Pendapat yang dipilih adalah biarkanlah jenggot sebagaimana adanya, dan janganlah cari alasan untuk memendekkannya sedikitpun.[10] Imam Abul Abbas Ahmad Al Anshari Al Qurthubi mengatakan bahwa hadits ini merupakan dalil agar menjauh dari penyerupaan terhadap mereka (orang muysrik).[11]
4. Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
“Berbedalah dengan orang musyrik, biarkanlah jenggot, dan potonglah kumis.” [12]
Al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan hadits ini, bahwa dahulu orang musyrik (juga orang Majusi menurut riwayat Imam Muslim) memendekkan jenggotnya, dan di antaranya ada yang mencukur habis jenggotnya. Sedangkan waffiruu maknanya adalah biarkanlah.[13] Sementara Imam An Nawawi menjelaskan bahwa mencukur habis jenggot merupakan kebiasaan orang Persia (beragama Majusi), dan hal itu telah dilarang oleh syariat, dan beliau menyebutkan bahwa para ulama memiliki sepuluh alasan dibencinya (makruh) perbuatan mencukur jenggot.[14] Al Qadhi ‘Iyadh termasuk yang mengatakan makruhnya memotong jenggot. Sementara Ibnu Umar jika sedang haji atau umrah, Beliau menggenggam jenggotnya dan memotong jenggot yang melebihi genggamannya.[15] Jadi, memendekkan jenggot adalah makruh menurut jumhur, sebagian kecil ada yang mengharamkan, sedangkan jika lebih segenggam sebaiknya dipendekkan bagian lebihnya itu sebagaimana prilaku Ibnu Umar dan menjadi pendapat Syaikh Al Albani bahkan beliau mengkritik jenggot yang melebihi genggaman tangan, yang lain mengatakan bahwa perbuatan Ibnu Umar bukan hujjah, dengan kata lain tetap tidak boleh dipotong lebihnya itu.
5.Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
أَمَرَ بِإِحْفَاءِ الشَّوَارِبِ وَإِعْفَاءِ اللِّحَى
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk mencukur kumis dan memelihara jenggot.” [16]
Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi mengatakan, bahwa maksud I’fa’ Al Lihaa, adalah membiarkannya. ‘Afaa Asy Syai’ artinya melebatkannya. Allah Ta’ala berfirman: hattaa ‘afaw yakni melebihkannya.[17] Sementara Imam Ibnu Abdil Bar, mengutip dari para ahli bahasa seperti Abu ‘Ubaid, Al Akhfasy, dan Jama’ah, bahwa makna Al Ihfa’ adalah mencabut (kumis), sedangkan Al I’fa adalah membiarkan rambut (jenggot) dan tidak mencukurnya. Ini juga menjadi pendapat sekelompok ulama dan para ahli fiqih dari sahabat-sahabat Abu Hanifah dan Asy Syafi’i, dan lainnya.[18]
6. Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
عَشْرٌ مِنْ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ ....
“Perkara sunah fitrah ada sepuluh, yakni memotong kumis, memelihara jenggot, ……dan seterusnya. [19]
Demikian hadits-hadits Rasulullah yang amat jelas dan tegas memerintahkan mencukur kumis dan memelihara jenggot.
Imam An Nawawi mengatakan bahwa kata-kata dalam hadits-hadits di atas yakni A’fuu, Awfuu, Arkhuu, Arjuu, dan Waffiruu, makanya adalah sama yakni memanjangkan dan membiarkan jenggot.[20]
Tidak sedikit manusia salah tafsir, mereka menyangka bahwa memelihara jenggot berarti mencukurnya, sebagaimana memelihara tanaman berarti memotongnya. Tafsiran ini terjadi karena menafsiri bukan dari bahasa Arabnya, melainkan dari bahasa Indonesianya, ‘memelihara jenggot’. Padahal kata ‘memelihara’ tidak juga berarti memotong habis, apakah memelihara tanaman berarti tanaman itu dibabat habis? Tentu tidak, justru memelihara tanaman adalah membiarkannya berkembang, rindang, dan berbuah.
C.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Juga Memelihara Jenggot dan Memotong Kumis
Hal ini sudah diketahui secara masyhur (terkenal), maka ternyata Rasulullah adalah ‘Islam Berjenggot’ sebagaimana pengistilahan orang awam.
Berikut akan kami paparkan beberapa keterangan tentang berjenggotnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dalam hadits-hadits shahih:
عَنْ أَبِي مَعْمَرٍ قَالَ قُلْنَا لِخَبَّابٍ أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ قَالَ نَعَمْ قُلْنَا بِمَ كُنْتُمْ تَعْرِفُونَ ذَاكَ قَالَ بِاضْطِرَابِ لِحْيَتِهِ
Dari Abu Ma’mar, ia berkata: “Kami berkata kepada Khabbab: Apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca pada shalat zhuhur dan ashar?” Maka ia berkata,”Ya.” Kemudian kami bertanya: “Dari mana kamu tahu?” Ia menjawab: “Dari gerakan jenggotnya.” [21]
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, ia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ أَخَذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حَنَكِهِ فَخَلَّلَ بِهِ لِحْيَتَهُ وَقَالَ هَكَذَا أَمَرَنِي رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ
“Rasulullah apabila berwudhu ia mengambil segenggam air dan memasukkannya kebawah mulutnya (jenggot) kemudian menyelai-nyelainya, dan beliau berkata: seperti inilah Rabb-ku memerintahkanku.” [22]
Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini dalam berbagai kitabnya.[23]
Dari Jabir bin Samurah Radhiallahu ‘Anhu, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ شَمِطَ مُقَدَّمُ رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ وَكَانَ إِذَا ادَّهَنَ لَمْ يَتَبَيَّنْ وَإِذَا شَعِثَ رَأْسُهُ تَبَيَّنَ وَكَانَ كَثِيرَ شَعْرِ اللِّحْيَةِ
“Bahwa Rasulullah telah beruban bagian depan (rambut) kepalanya dan jenggotnya. Apabila beliau menggunakan minyak rambut, maka putih ubannya tidak jelas. Apabila rambut beliau kusut maka putihnya akan nampak, dan beliau adalah orang yang berjenggot lebat.”[24]
Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, ia berkata:
“Rasulullah adalah seorang yang banyak/lebat jenggotnya (‘Azhimul Lihyah).” [25]
Perkataan Ali Radhiallahu ‘Anhu ini dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban. Syaikh Al Albani menghasankan dalam kitab Shahihul Jami’,[26] juga dihasankan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth.[27]
Dari lima riwayat ini, jelaslah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memelihara dan memperbanyak jenggotnya.
Fatwa Ulama Masa Lalu
1. Madzhab Hanafi
Imam Abu Hanifah (biasa juga disebut Imam Hanafi) berkata dalam Ad Durul Mukhtar: “Haram bagi laki-laki memotong jenggotnya.” [28] Sebaliknya dalam Syarh Syaikh Ismail disebutkan: “Boleh memotong yang panjangnya melebihi satu genggaman, yakni memotong bagian yang lebihnya saja, dan itu sunah. “ [29] Bahkan wajib memotong bagian yang melebihi satu genggaman tangan, sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Ibnu Umar.[30] Inilah pendapat Imam Abu Hanifah dan dua kawannya, Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan.[31] Memotong yang melebihi genggaman tangan merupakan perilaku umumnya para ulama salaf (terdahulu), bahkan Asy Sya’bi dan Ibnu Sirin menganggap baik hal itu, namun Hasan Al Bashri dan Qatadah memakruhkannya.[32]
Imam Ibnu Nujaim dalam kitab Al Bahrur Ra’iq mengatakan, bahwa mencukur jenggot sebagaimana yang dilakukan oleh orang asing dan laki-laki yang bertingkah seperti wanita, maka itu tidak boleh sebagaimana disebutkan dalam Fathul Qadir.[33]
Dalam Kitabus Shiyam Imam Abu Hanifah juga mengatakan mencukur habis jenggot merupakan perbuatan Yahudi dan Nasrani.
2. Madzhab Maliki
Imam Malik berkata dalam kitab At Tamhid: “Haram mencukur jenggot, tidaklah mencukur jenggot, kecuali orang-orang yang berlagak wanita (banci) dari kalangan laki-laki.”
Imam Malik ditanya, bagaimana dengan jenggot yang terlalu panjang? Dia mengatakan boleh dipotong sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah, yakni bagian yang melebihi genggaman tangan saja.[34] Imam Malik juga membolehkan memotong bagian yang tidak beraturan.[35]
Imam Al Qurthubi Al Maliki mengatakan, “ Tidak boleh mencukur jenggot, mencabutnya, dan memotongnya.”[36]
3. Madzhab Syafi’i
Salah satu Imam Madzhab Syafi’i, yakni Imam Sayyid Ad Dimyathi dalam kitab I’anatut Thalibin, menyebutkan tentang pandangan para imam madzhab syafi’i bahwa mencukur jenggot termasuk zajr (dosa) dan jarimah (kejahatan) bagi pelakunya, dan mesti diberikan hukuman ta’zir (di dera).[37]
Berkata Ibnu Raf’ah di dalam hasyiah (catatan kaki) kitab Al Kafiyah, Sesungguhnya Imam Asy Syafi’i menyatakan dalam kitabnya, Al Umm, tentang keharaman mencukur jenggot, begitu pula yang dinyatakan Imam Az Zarkasy Asy Syafi’i dan Imam Al Halimi Asy Syafi’i di dalam kitab Syu’abul Iman dan Al Qafal Asy Syasy di dalam kitab Mahasin Asy Syariah yang menyatakan keharaman mencukur jenggot.
Imam Abu Syamah Asy Syafi’i berkata: “Telah ada suatu kaum yang biasa mencukur jenggotnya. Berita yang terkenal, bahwa yang melakukan demikian itu adalah orang-orang Majusi (penyembah api), bahwa mereka biasa mencukur jenggotnya.” [38]
Syaikh Abdurrahman bin Ahmad bin Qasim menyebutkan dalam Tahrim Halqil lihyah, tentang perkataan dua Imam bermadzhab Syafi’i yakni Imam An Nawawi dan Imam Al Ghazali, yang mengatakan bahwa mencabut jenggot merupakan kemungkaran besar.[39]
4. Madzhab Hambali
Imam Ibnu Muflih Al Hambali mengatakan,”Haram mencukurnya (jenggot), sebagaimana dsebutkan syaikh kami.” [40]
Imam Ibnu Taimiyah Al Hambali berkata,”Haram hukumnya mencukur jenggot.” [41] Ia juga berkata, “Diharamkan mencukur jenggot dengan dalil hadits-hadits yang shahih dan tak seorang pun yang membolehkannya.”
Demikian fatwa ulama masa lalu dari empat madzhab, sedangkan Imam Ibnu Hazm (bermadzhab Zhahiri) berkata dalam Maratibul Ijma’ : “Mereka telah sepakat bahwa mencukur semua jenggot adalah terlarang.”[42]
Fatwa Ulama Masa Kini
Berkata Al ‘Allamah Asy Syaikh Yusuf al Qaradhawy hafizhahullah dalam Al Halal wal Haram fil Islam, “Perintah Rasulullah ini mengandung pendidikan bagi umat Islam agar memiliki kepribadian tersendiri serta berbeda dengan orang kafir, lahir dan batin, yang tersembunyi atau yang nampak. Terlebih dalam hal mencukur jenggot ini, ada unsur-unsur menentang fitrah dan menyerupai perempuan. Sebab jenggot adalah lambang kesempurnaan laki-laki dan tanda yang membedakan dengan jenis lain.”
Ia juga berkata, “Kebanyakan orang-orang Islam yang mencukur jenggotnya lantaran mereka meniru musuh-musuh mereka, kaum penjajah negeri mereka, dan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Sebagimana biasanya, orang-orang kalah senantiasa meniru orang-orang yang menang, mereka melakukan itu telah jelas melupakan perintah Rasulullah agar berbeda dengan orang-orang kafir. Mereka telah lupa pula terhadap larangan Nabi tentang menyerupai orang kafir, sebagaimana hadits: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia itu termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Daud dan Ahmad)
Kebanyakan ahli fiqih yang berpendapat haramnya mencukur jenggot beralasan dengan hadits di atas. Sedang tiap perintah pada asalnya menunjukkan hukum wajib, apalagi Rasulullah telah memberikan alasan dibalik perintahnya itu yakni supaya kita berbeda dengan orang-orang kafir. Dan berbeda dengan orang kafir hukumnya wajib juga.
Tidak seorang pun ulama salaf (terdahulu) meninggalkan kewajiban ini (memelihara jenggot) …dst.“ Demikian pandangan Syaikh Al Qaradhawy.
Al Muhaddits Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albany rahimahullah berkata dalam kitab kitab Hajjatun Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hal. 8, “Perkara ini –mencukur jenggot- adalah maksiat dari sekian banyak maksiat yang tersebar di kalangan umat Islam saat ini yang disebabkan berkuasanya kaum kuffar di mayoritas negeri kaum muslimin, dan perbuatan maksiat ini berpindah ke negeri-negeri kaum muslimin serta sikap taqlid (ikut-ikutan) kaum muslimin kepada mereka, padahal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah jelas melarang dalam sabdanya yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim: “Berbedalah dengan kaum musyrikin, cukurlah kumis dan peliharalah jenggot.”
Dalam Adh Dhaifah V/125 Ia berkata: “Dalam hadits ini mengandung isyarat kuat, bahwa memendekkan jenggot –sebagaimana yang dilakukan jamaah- posisinya seperti mencukurnya, yaitu dari segi tasyabbuhi (penyerupaan dengan orang musyrik). Hal ini tidak diperbolehkan. Dan amalan sunnah yang berjalan dikalangan salaf dan para sahabat dan lainnya adalah membiarkan jenggot kecuali yang melebihi genggman tangan, maka dibolehkan memotong kelebihannya.”
Samahtus Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz berkata dalam Ad Da’wah hal. 992 ketika ditanya apa hukum mencukur jenggot: “Mencukur jenggot tidak boleh karena sabda Rasulullah di dalam hadits yang shahih: “Potonglah kumis dan peliharalah jenggot dan berbedalah dengan orang-orang musyrik.” Dan sabda yang lain: “Cukurlah kumis, peliharalah jenggot, dan berbedalah dengan orang Majusi.”
Syaikh Ali Mahfuzh berkata dalam Al Ibda’ fi Madhahir al Ibtida’ : “Madzhab yang empat sepakat bahwa wajibnya memelihara jenggot dan larangan memotongnya, haram mencukurnya, dan mengambil sedikit pun darinya.”
Syaikh Abu Bakar al Jazairi berkata dalam Minhajul Muslim hal. 129: “Adapun jenggot hendaklah dibiarkan saja memenuhi wajah sebagaimana sabda Rasulullah, ‘Cukurlah kumis dan peliharalah jenggot.’ Dan sabdanya yang lain: ‘Berbedalah dengan orang musyrik, cukurlah kumis dan peliharalah jenggot.’ Yang maknanya tidak memotongnya, dan memperbanyaknya, maka haram mencukurnya.”
Sekian.
Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan
[1] HR. At Tirmidzi No. 2761, katanya: hasan shahih. An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 14, 9293, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 5033, 5034, 5035, juga Al Awsath No. 3027, Ahmad No. 19283, 19292, Al Bazzar dalam Musnadnya No. 4332, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah No. 2616. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: isnadnya shahih para perawinya tsiqaat. (Tahqiq Musnad Ahmad, No. 19292)
[2] Imam Al ‘Ajluni, Kasyf Al Khafa’, Juz.2, Hal. 310
[3] Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2761, Shahihul Jami’ no. 6533, Tahqiq Misykah Al Mashabih, No. 4438.
[4] Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri, Tuhfah Al Ahwadzi, Juz. 8, Hal. 34. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah
[5] Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi, Syarh Sunan An Nasa’i, Juz. 8, Hal. 130. Maktab Al Mathbu’at Al Islamiyah -Halab
[6] HR. Bukhari No. 5893
[7] Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, Juz. 10, Hal. 351. Darul Ma’rifah
[8] Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, Juz. 32, Hal. 67. Al Maktabah Al Misykah. Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz. 10, Hal. 350. Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Juz.3, Hal. 151.
[9] HR. Muslim No. 260, 55
[10] Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Juz. 3, Hal. 151
[11] Imam Abul Abbas Ahmad bin Abu Hafsh Al Anshari Al Qurthubi, Al Mufhim Lamma Asykala min Talkhish Kitabi Muslim, Juz. 3, Hal. 141. Al Maktabah Al Misykah
[12] HR. Bukhari No. 5892, Muslim No. 259, 54
[13] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz. 10, Hal. 351 . Lihat juga Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, Juz. 32, Hal. 66. Al Maktabah Al Misykah
[14] Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Juz. 3, Hal. 149
[15] Lihat Shahih Bukhari No. 5892
[16] HR. Muslim No. 259, 53, Abu Daud No. 4199, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 89, 683, Abu ‘Uwanah dalam Musnadnya No. 467
[17] Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim, ‘Aunul Ma’bud, Juz. 11, Hal. 169. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah
[18] Imam Ibnu Abdil Bar, At Tamhid, Juz. 24, Hal. 143. Muasasah Al Qurthubah
[19] HR. Muslim No. 261, Abu Daud No. 53, At Tirmidzi No. 2757
[20] Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Juz. 3, Hal. 151.
[21] HR. Bukhari No. 746, Abu Daud No. 801, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 530, Ahmad No. 21098, 21099, 21115, 27258, Al Bazzar dalam Musnadnya No. 2131, Ibnu Khuzaimah No. 505, 1588, Ibnu Hibban No. 1826, 1830, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 472, Al Humaidi dalam Musnadnya No. 156, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 2676, Al Baihaqi dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsar No. 792, 793
[22] HR. Abu Daud No. 145, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 250, Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 5127
[23] Irwa’ Al Ghalil, No. 92, Shahihul Jami’ No. 4696, Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 145
[24] HR. Muslim No. 2344, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 1419, Abu Ya’ala dalam Musnadnya No. 7456, Ahmad No. 21036, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 32468
[25] HR. Ahmad No. 944, 946, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 32467, Abu Ya’la dalam MusnadnyaNo. 369. Ibnu Hibban, dalam Mawarid Azh Zham’an No. 2117
[26] Shahihul Jami’, No. 4820. Markaz Nur Al Islam
[27] Tahqiq Musnad Ahmad No. 944, 946
[28] Imam Al Hashfaki, Ad Durul Mukhtar, Juz. 5, Hal. 727.
[29] Imam Ibnu ‘Abidin, Hasyiah Raddul Muhtar, Juz. 2, Hal. 459.
[30] Imam Fakhruddin Az Zaila’i, Tabyin Al Haqaiq Syarh Kanzi Ad Daqaiq, Juz. 4, Hal. 125.
[31] Imam Al Babarti, Al ‘Inayah Syarh Al Hidayah, Juz. 3, Hal. 308.
[32] Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Juz. 1, Hal. 290.
[33] Imam Ibnu Nujaim, Al Bahr Ar Raiq Syahr Kanzi Ad Daqaiq, Juz. 6, Hal. 226.
[34] Imam Abul Walid Sulaiman bin Khalaf Al Baji, Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’, Juz. 4, Hal. 367.
[35] Ibid. Lihat juga Imam Ibnu Abdul Bar, At Tamhid, Juz. 24, Hal. 145. Al Maktabah Al Misykah
[36] Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim Al ‘Ashimi Al Hambali, Tahrim Halq Al Lihaa, Hal. 3. Riasah idarah Al Buhuts Al ‘Ilmiah wal Ifta’ wad Da’wah wal Irsyad
[37] Imam Sayyid Al Bakri Ad Dimyathi, I’anatuth Thalibin, Juz. 4, hal. 190.
[38] Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz. 10, Hal. 351.
[39] Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim Al ‘Ashimi Al Hambali, Tahrim Halq Al Lihaa, Hal. 10. Riasah idarah Al Buhuts Al ‘Ilmiah wal Ifta’ wad Da’wah wal Irsyad
[40] Imam Ibnu Muflih, Al Furu’, Juz. 1, Hal. 92.
[41] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Al Ikhtiyarat Al fiqhiyyah, Hal. 388. Darul Ma’rifah
[42] Imam Ibnu Hazm, Maratibul Ijma’, Hal. 157. Dar Az Zahid Al Qudsi