“Untaian bintang berkedip benderang, Menghias angkasa yang gulita Coba aruingi malam yang sunyi, Dalam dzikirku hatiku pada-Nya..... Ya Alla...
“Untaian bintang berkedip benderang, Menghias angkasa yang gulita
Coba aruingi malam yang sunyi, Dalam dzikirku hatiku pada-Nya.....
Ya Allah kini malam-Mu tlah singga, Di dalam hati hamba-Mu yang resah…”
(Muhasabah – Alginat)
Coba aruingi malam yang sunyi, Dalam dzikirku hatiku pada-Nya.....
Ya Allah kini malam-Mu tlah singga, Di dalam hati hamba-Mu yang resah…”
(Muhasabah – Alginat)
Malam ini… aku duduk di depan rumah. Memandangi langit yang nampak begitu cerah, bintang-bintang berkedip-kedip menambah indahnya malam yang gulita. Aku termenung,… bayang-bayang ikhwan yang datang di kios ibu sore tadi masih saja memenuhi pikiranku. Seakan-akan diri ini ingin sekali dialah yang akan menjadi pendamping hidupku. Tapi… apakah dia mau menerimaku, yang sebenarnya usiaku juga sudah lumayan tua, selain itu kehidupanku juga cukup sederhana. Sementara dia kelihatannya masih begitu muda, anak tokoh masyarakat pula. Ah… jodoh kan tak memandang status maupun usia. Tapi, memang tak bisa kupungkiri… baru pertama kali aku melihatnya aku sudah jatuh hati.
Hatiku semakin resah dan gelisah. Menanti hari esok. Esok aku akan datang ke rumahnya untuk mengembalikan sisa uang pembelian gula. Apa lebih baik aku akan mengungkapkan perasaanku langsung kepadanya? Bukankah dulu juga pernah ada wanita yang datang kepada Rasulullah ingin mengutarakan perasaan hatinya kepada seorang laki-laki?! “Ya Allah yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku untuk selalu di jalan-Mu.”
“Rin…. Sudah malam, kok masih duduk-duduk di depan rumah?”
“Sebentar lagi bu…”
Panggilan ibu membuyarkan kegelisahanku. Sesegara ku masuk ke rumah. Ku dekati ibu yang masih sibuk memilah-milah sayuran yang tersisa. Ku ingin ceritakan kegelisahanku ini kepada beliau. Ibulah yang selama ini dapat memberiku solusi disetiap masalah yang kuhadapi. Perlahan ku dekati beliau sambil bantu memilah-milah sayuran….
“Bu… tadi sore putranya pak Salamun yang ambil pesanan gulanya. Tapi Rin ga sempat tanya namanya siapa.”
“Lha trus kenapa?” tanya ibuku.
“Sekilas Rin lihat, dia orangnya baik kok bu. Orangnya tampan, putih, jenggotnya tipis, kata-katanya santun, kalem dan pakai pakaian muslim lagi bu.”
“Hmm..hmm..hmm….” ibuku tersenyum mendengar ucapanku.
“Emang, baik buruknya orang bisa dinilai dari pakaiannya ya?!”
“Ibu baru tahu nih, Rin menawarkan diri ngantar sisa kembalian ingin bertemu dengan putranya pak Salamun kan?!” Canda ibu padaku.
“Ya, tapi itu gak pokok kok bu. Yang paling pokok kan mengembalikan uang yang bukan hak kita?! He..he..he...?” jawabku sambil meledek ibu.
“Ibu sih gak masalah, Rin mau mengembalikan uang atau ingin ketemu anaknya Pak Salamun. Yah… semoga saja kalau itu yang Rin harapkan jadi pendamping hidup, semoga itu yang terbaik buat Rin.”
“Amiin…” jawabku.
“Kebetulan besok di rumah bu Warsi ada acara syukuran, ibu ikut bantu-bantu dulu disana, jadi pulangnya mungkin malam.”
“Ya bu. Ya sudah bu, Rin mau tidur dulu, sudah malam.”
“Anginpun menari mencari arti, Adakah ini fitrah ataukah hiasan nafsu.
Di dalam sunyi ia selalu hadir, didalam sendiri ia selalu menyindir.
Kadang meronta bersama air mata, seolah tak kuasa menahan duka…”
(Menunggu Disayup Rindu – Al Maidany)
Lagi-lagi aku tak bisa tidur. Masih saja dihantui oleh bayang-bayang ikhwan itu. Hatiku semakin resah, bagaimana besok aku harus mengungkapkan perasaanku padanya? Sepertinya kalau aku langsung mengungkapkan perasaanku, itu namanya tidak sopan. Aku kan seorang akhwat, harus bisa jaga “image”.
Malam pun berlalu, dan pagi pun kembali menyapa. Selesai sarapan aku pun berangkat kerja sambil ngantar adikku ke sekolah. Tak lupa semua keperluan aku cek terlebih dahulu, termasuk uang kembalian buat pak Salamun. Ku kayuh sepeda mini tua peninggalan ayahanda bersama adikku. Rasanya aku bahagia sekali hari ini. Sambil berjalan, Aku membayangkan “bila saja aku diboncengkan ikhwan itu naik sepeda mini ini” duuh… alangkah indahnya, serasa dunia akan jadi milik kami berdua. Kini getar-getar cinta itu ternyata mulai memenuhi ruangan hatiku. Membuat aku tak konsentrasi kerja melayani para pembeli. Aku juga jadi sering melihat jam dinding di Tokoku. Seakan kuhitung detik demi detik yang telah terlewat.
Jam 16.00, saatnya aku diganti dengan teman-temanku yang masuk sift ke dua. Sesegara aku mengambil sepeda miniku, kukayuh sepada itu menuju rumah Pak Salamun. Bayang-bayang ikhwan itu masih saja mengusik dalam perjalananku.
Dalam kelelahan itu ku coba menanyakan kepada warga RW. 04 dimana rumah Pak Salamun. Ternyata rumahnya sudah pindah satu kilo dari rumah beliau tempati dulu. Dan akhirnya tiba juga aku di sebuah rumah yang cukup mewah. Di samping rumah itu juga ada taman yang begitu indah. Hatiku semakin berdebar-debar saat aku mulai membunyikan bel yang ada di depan pintu. Tak lama kemudian keluar seorang bapak yang rambut dan jenggotnya sudah memutih dengan memakai kaos oblong dan sarung.
“Assalamu’alaikum…” kuucapkan salamku kepada beliau.
“Wa’alaikumsalam…” jawab beliau dengan nadanya yang begitu lirih.
“Maaf, apa benar ini rumahnya Pak Salamun?”
“Benar.”
“Saya Rina pak, putrinya bu Mirah yang punya kios di Pasar Bestari. Boleh saya ketemu dengan putra Bapak yang kemarin ambil pesanan gulanya Bapak?”
“Ohh… ya silahkan masuk nak… silahkan masuk. Duduk dulu, bapak panggilkan Dzaki.”
Entah mengapa keringatku tiba-tiba keluar. Degup-degup jantungku juga semakin kencang. Sesekali kutarik nafas dalam-dalam, dan kukeluarkan perlahan-lahan untuk mengurangi keteganganku.
“Assalamu’alaikum…”
Tak lama kemudian dari depanku hadir seorang ikhwan menyapaku. Seorang ikhwan yang pernah singgah ke kios ibu mengambil pesanan gula. Sesegera kutersenyum menyambut salamnya… “Wa’alaikumsalam…”
“Mbak yang jaga kiosnya bu Mirah ya?”
“Iya, … disamping jaga, saya juga putrinya bu Mirah?!”
Ternyata kata-kata itulah yang akhirnya membuka hati kami untuk saling bicara dan setidaknya aku juga bisa sedikit bercanda.
“Maaf mas Dzaki, kedatangan saya kesini untuk mengembalikan uang sisa pembelian gula. Kemarin uangnya kelebihan. Jadi hari ini saya disuruh ibu untuk mengembalikannya.”
“Owh… jadi merepotkan. Kok mbak tau kalau nama saya Dzaki?”
“Hhmm…. Tadi bapak mas yang manggil dengan nama Dzaki. Kalau sama pelanggan atau pembeli kan kita juga harus bisa saling mengenalnya biar lebih enak melayaninya. ”
“Oh… Mbaknya bisa saja.”
Tapi… suasana kemudian jadi sedikit hening kembali, tanpa kata, tanpa suara. Hanya detak-detak jarum jam yang terdengar meski tidak begitu keras.
* * *
“Yah… Ayah….”
Tiba-tiba dari balik ruangan ada anak kecil seusia 3 tahun berjalan-jalan cepat sambil memegang handphone menghampiri kami di ruang tamu.
“Yah, ayah… ada telpon dari Ummi.”
“Oh ya, mana sayang… “
“Maaf mbak saya tinggal nerima telpon dulu ya.”
“Oh ya silahkan….”
Mendengar itu, bumi serasa menjadi gempar. Hatiku semakin menyelisik bersama dalam dekapan kehampaan, terdiam menerima sebuah realita. Kini harapan itu telah pudar. Harapan agar bisa memilikinya untuk menjadi pendamping hidup dan ayah dari anak-anakku nanti. Meski hatiku tak mengizinkan, tapi inilah kenyataan yang harus aku terima. Ingin sekali ku membuang kenyataan ini bersama bulir-bulir permata. Biar air mata ini jatuh sebagai saksi atas rapuhnya harapanku. Tapi sekuat mungkin ku tahan segala bulir-bulir permata itu agar tak luluh. Karena memang bukanlah dia yang salah. Tapi ini salahku yang mudah berharap pada seseorang yang singgah dalam hatiku.
“Maaf mbak, kalau saya tinggal menerima telpon. Istri cuma kasih kabar kalau pulangnya agak telat karena ada acara pengajian.”
“Oh… tidak apa-apa… hmmmm”
Kupaksakan diriku untuk tersenyum meski terasa berat.
“Maaf, saya langsung pamit. Sudah sore, takut kemalaman.”
“Oh ya silahkan. Terima kasih ya. Salam buat bu Mirah.”
“Hmmm…. Insya Allah.”
* * *
“Biarlah semua mengalir,
berikanlah kepada ikhtiar
Dan sabar untuk mengejar…”
(Al Maidany – Menunggu di Sayup Rindu)
Ku kayuh sepeda miniku bersama genangan air mata yang memang tak bisa aku tahan.
Langitpun mulai nampak gelap, seakan-akan ia menjadi tanda gelapnya hatiku saat ini.
Sampai dirumah aku langsung ke kamar. Ingin ku teriak sekencang-kencangnya. Ingin ku mengadu kembali kehadirat-Nya.
Malam ini ku ingin mencoba mengapus segala gundah dan luka hati yang terjadi hari ini. Atas cinta yang tak mempertemukanku dengannya dalam ikatan suci. Cinta yang mengajariku untuk menerima apa yang telah terjadi.
“Rin…”
“Eh… ibu sudah pulang ya?”
“Gimana tadi uangnya sudah dikembalikan sama Pak Salamun. Ketemu dengan,… siapa… Putranya pak Salamun yang tampan itu?”
“Hngg… sudah bu.”
“Lho kok Rin gak seneng?! Kan habis ketemu sama yang Rin idam-idamkan?! Kenapa mata Rin kelihatan bengap begitu?”
Ibu mendekatiku, kemudian duduk disampingku dan mendekapku. Dalam dekapannya aku benar-benar merasakan kehangatan kasih sayangnya.
“Kenapa Rin sedih lagi, ceritakan sama ibu.”
“Mungkin dia belum jodoh Rin bu. Dia sudah punya istri dan anak.”
Tanpa terasa bulir-bulir permata indah itu menetes lagi. Kini butiran itu menitik dalam dekapan ibu atas kedukaan yang kuhadapi.
“Sabar ya Rin… Allah pasti akan memberikan yang terbaik buat Rin. Dia pasti akan datang disaat yang tepat.
“Sabarlah menunggu janji Allah kan pasti
Hadir tuk datang menjemput hatimu
Sabarlah menanti usahlah ragu
Kekasih kan datang sesuai dengan iman di hati.” ((Al Maidany)
Kata-kata ibu membuat aku merasa mempunyai harapan lagi. Memang aku harus bersabar atas apa yang terjadi. Aku juga harus yakin bahwa saat aku lahir Allah sudah menentukan “Rizki, ajal dan jodohku”. Barangkali Allah masih merahasiakannya untuk mengujiku. ………… (bersambung)
smartcerdas.blogspot.com